Audio Bumper

Sunday, March 21, 2021

PENERAPAN PROSEDUR PENGASAPAN PENAGGULANGAN DBD BERDASARKAN BUKU PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN DEMAM BERDARAH KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA TERBITAN TAHUN 2017 DI KABUPATEN TEGAL


1.      Latar belakang

      Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 581/MENKES/SK/VII/1992 tentang pemberantasan penyakit Demam Berdarah Dengue, tata laksana DBD di lapangan ada 4 macam kegiatan, yakni penyuluhan kesehatan, pemberantasan sarang nyamuk, pemberian larvasida, dan pengasapan (fogging). Prosedur pengasapan DBD mengalami perubahan. Dirjen P2P Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2017 menerbitkan buku pedoman pencegahan dan penanggulangan DBD di Indonesia. Diharapkan buku ini akan menjadi acuan pelaksanaan penanggulangan DBD di lapangan, khususnya dalam hal pengasapan DBD, mengingat pelaksanaan pengasapan menjadi isu penting yang menjadi perhatian di masyarakat. Kabupaten Tegal sendiri mengaplikasikan buku pedoman tersebut mulai tahun 2018

    Banyak orang menginginkan fogging, karena dalam pikiran mereka, itu adalah solusi yang praktis. Baik dalam persepsi untuk mencegah DBD, mengusir atau membunuh nyamuk, atau menanggulangi sebuah ledakan kasus DBD yang sedang terjadi. Salah paham tentang indikasi fogging ini tidak hanya di masyarakat awam, bahkan selevel pejabat daerah pun kadang tidak tahu indikasi fogging yang sebenarnya. Hal ini bisa dimaklumi karena untuk memahami kriteria indikasi pengasapan butuh pemahaman tentang ilmu epidemiologi.

    Tenaga kesehatan wajib meluruskan pemahaman di masyarakat. Mungkin persepsi masyarakat yang keliru tentang fogging ini berawal dari pengalaman tindakan fogging di lapangan yang pernah mereka lihat. Mereka mengira itu adalah tindakan untuk pencegahan bukan penanggulangan kasus. Kesalahpahaman ini bisa terjadi karena masyarakat tidak diberi tahu maksud dan tujuan adanya fogging saat itu, yakni karena adanya penularan kasus di tetangganya.

    Salah paham mengenai indikasi fogging juga bisa berupa pemahaman yang keliru bahwa fogging ditujukan untuk mengusir atau membunuh nyamuk. Memang benar, banyak nyamuk akan mati dan terusir. Masyarakat pun bisa merasakannya beberapa saat setelah dilakukan fogging. Padahal pengasapan DBD dilakukan karena adanya penularan kasus yang melatarbelakanginya.

    Hal lain yang membuat masyarakat kerap meminta fogging, adalah karena mereka tidak tahu bahayanya fogging. Mereka tidak tahu bahwa ada efek buruk dari insektisida dalam asap tersebut. Yang sejatinya adalah toksik (racun) bagi saluran pernapasan manusia, binatang ternak, dan lingkungan. Terlebih lagi efek buruk jangka panjang, seperti resiko terjadinya kekebalan nyamuk terhadap insektisida. Hal itu nyata-nyata terjadi karena efek fogging. Ada juga fenomena trans-ovarial, dimana mutasi genetik terjadi dalam siklus kembang biak nyamuk, sehingga telur baru sudah mengandung virus Dengue di dalamnya. Hal ini merekomendasikan kita untuk lebih penting melakukan PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk) sebagai pencegahan, daripada mengandalkan  fogging.

    Sungguh banyak masyarakat yang belum mengerti sampai sejauh itu. Kebanyakan dari mereka berpikir jangka pendek: dengan fogging, nyamuk hilang, masalah selesai. Satu hal lagi yang mendasari mengapa permintaan fogging begitu banyak di masyarakat, adalah karena mereka melihat contoh di daerah lain bisa melakukannya, tanpa syarat adanya penularan kasus yang sedang terjadi. Hal-hal yang sedemikian seharusnya dihindari oleh tenaga kesehatan dalam memberikan rekomendasi tindakan fogging. Integritas tenaga kesehatan dipertaruhkan dalam menjaga kesehatan lingkungan dan efek buruk jangka panjangnya. Mengijinkan fogging tanpa syarat keilmuan epidemiologi yang mendasarinya, adalah contoh yang buruk yang menyebabkan akan semakin banyak masyarakat meminta fogging tanpa syarat.

    Kadang pula terjadi, fogging dilakukan "tanpa permisi". Dilakukan oleh pihak ketiga, entah penyedia jasa pengendalian vektor, swadaya, atau oleh sebuah organisasi atau partai. Mereka membeli alat fogging dan insektisida sendiri dan membayar tenaga pelaksana sendiri. Alat fogging dan insektisida memang bisa dibeli dengan bebas. Internet menyediakan banyak info tentang hal itu. Namun Permenkes nomor 374 tahun 2010 mengatur bagaimana pengendalian vektor seharusnya dilakukan. 

    Sesuai dengan permenkes tersebut, pihak swasta yang membeli sendiri alat fogging, melatih tenaga dan sebagainya, tetap wajib mendapat izin dari Dinas Kesehatan Kabupaten Tegal untuk melakukan pengasapan. Fogging memang bisa dilakukan pihak swasta, tentunya harus memiliki ijin operasional dari Dinkes. Dan fogging tersebut hanya dilakukan atas dasar hasil kajian surveilans epidemiologi tentang penyebaran penyakit tular vektor. Penyelenggara pengendalian vektor swasta yang menggunakan bahan kimia itu pun harus mempunyai tenaga entomolog dan tenaga kesehatan lingkungan yang terlatih, serta wajib melaporkan kegiatannya ke Dinas Kesehatan. Artinya, rekomendasi untuk dilakukan fogging atau tidak, tetap diberikan oleh Dinas Kesehatan. Dan kita punya aturan untuk itu.

    Pemkot Semarang bahkan telah memiliki Peraturan Daerah (Perda) nomor 5 tahun 2010 tentang pengendalian DBD. Pelaksanaan Fogging tanpa seizin Dinkes kota Semarang terancam denda 50 juta. Sanksinya tipiring, denda Rp 50 juta atau enam bulan kurungan. Dalam penelitian, fogging hanya menghilangkan nyamuk dewasa, sedangkan nyamuk kecil menjadi kebal dan akan menambah banyak. Ini untuk mempertegas agar masyarakat tidak mudah melakukan fogging yang justru tidak efektif.



Pelaksanaan Pengasapan DBD di Kabupaten Tegal yang telah dilaksanakan

       Untuk wilayah Kabupaten Tegal sendiri, tidak membutuhkan tenaga penyemprot, alat, bahan bakar dan obat dari luar Dinas Kesehatan. Semuanya sudah tercukupi. Dinas Kesehatan selalu bekerja profesional menggunakan standar operating prosedur pengasapan yang ada, salah satunya adalah buku pedoman Kementerian Kesehatan RI tentang pencegahan dan penanggulangan DDB di Indonesia tahun 2017 yang diterapkan mulai tahun 2018.

    Selama 5 tahun terakhir dalam penanggulangan penyakit Demam Berdarah Dengue di Kabupaten Tegal, Dinas Kesehatan mendapatkan laporan beberapa kejadian terkait pengasapan sebagai berikut:

a. Masih ada instansi, desa, lembaga, perusahaan, partai yang meminta dilakukan pengasapan/ fogging tanpa adanya kasus, hanya untuk pencegahan atau sekedar mengusir nyamuk. Untuk hal ini Dinas Kesehatan tegas menolak mengijinkan pengasapan tanpa dasar indikasi secara keilmuan epidemiologis.

b.      Ada desa yang membeli alat fogging dan melakukan fogging mandiri tanpa seijin Dinas Kesehatan, yakni desa Demangharjo kecamatan Warureja Kabupaten Tegal. Dan alat tersebut juga pernah dipinjam desa lain untuk melakukan fogging, yakni desa Warureja, dan Desa Kendayakan Kecamatan Warureja Kabupaten Tegal. Terkait hal ini Dinas Kesehatan telah berkordinasi dengan Puskesmas setempat untuk mengadakan penyuluhan pada aparat desa terkait untuk tidak lagi menggunakan alat fogging tersebut di luar indikasi epidemiologis.

c.    Ada beberapa usulan beberapa dana desa untuk pengadaan alat pengasapan. Terkait hal ini Dinas Kesehatan Kabupaten Tegal memerintahkan Puskesmas untuk tidak memberikan rekomendasi kepada Desa yang akan membeli alat tersebut. Tindakan ini berhasil menggagalkan rencana pengadaan tersebut.

d.   Semua permintaan pengasapan yang tidak sesuai dengan prosedur ditolak dengan baik, dengan dasar peraturan yang berlaku, serta tidak menimbulkan polemik di masyarakat. Jika ada laporan terkait dugaan kasus DBD (rumor) Puskesmas segera melakukan penyelidikan epidemiologi untuk mengkonfirmasi kasus tersebut. Jika memang terbukti memenuhi indikasi fogging, pasti dilakukan.

 

3.      Perbedaan Pedoman Pengasapan

            Ada beberapa hal pokok yang sangat mendasar dalam pelaksanaan pengasapan penanggulangan DBD antara sebelum dan sesudah adanya buku pedoman Kementerian Kesehatan RI tentang pencegahan dan penanggulangan DDB di Indonesia tahun 2017. Perbedaan ini akan diaplikasikan untuk mengakomodir kebutuhan penanggulangan DBD di lapangan. Hal-hal pokok tersebut adalah:

a.       Ruang lingkup kasus sasaran pengasapan

b.      Interval waktu epidemiologi antar kasus

c.       Kriteria dilakukannya pengasapan.

 

4.      Analisa dan Pembahasan

a.       Ruang lingkup kasus

Pedoman lama tentang pengasapan hanya melihat pada sasaran kasus Demam Berdarah Dengue (DBD). Selain kasus DBD seperti Demam Dengue (DD) tidak bisa dilaksanakan pengasapan. Padahal DBD dan DD adalah penyakit dengan penyebab yang sama yakni virus Dengue dengan vektor penular yang sama pula yakni nyamuk Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus. Yang membedakan keduanya secara klinis adalah terjadinya perembesan plasma pada penyakit DBD.

 

Nilai Laboratorium

DBD

DD

Trombosit

<100.000 uL

<150.000 uL

Haematokrit

Ø  20%

5 – 20%

 

 

Perembesan plasma pada kasus DBD ditandai dengan penurunan kadar laboratorium pada Trombosit dan peningkatan kadar Haematokrit atau adanya tanda efusi pleura, asites dan hypoalbuminemia (Kriteria pendiagnosaan DBD menurut WHO tahun 1997). Maka dalam hal ini keduanya mempunyai potensi yang sama untuk menjadi KLB, DD mempunyai potensi yang sama untuk menular menjadi DBD. Demikian pula sebaliknya.

Maka dari itu buku pedoman pencegahan dan penanggulangan DBD di Indonesia terbitan Kementerian Repulik Indonesia tahun 2017 ini tidak lagi membedakan antara DBD dan DD dalam hal penanggulangan di lapangan. Penanggulangan di lapangan mempunyai ruang lingkup tata laksana penyakit Infeksi Dengue. Baik itu DBD, DD, DSS (Dengue Syock Syndrom), maupun EDS (Expanded Dengue Syndrom).

DSS adalah DBD yang mengalami stadium syock. Sementara EDS adalah kasus infeksi Dengue (DD atau DBD) yang disertai manifestasi klinis yang tidak biasa, yang ditandai dengan kegagalan organ berat seperti hati, ginjal, jantung, otak. Semua infeksi Dengue ini masuk dalam ruang lingkup pelaksanaan pengasapan, entah penderitanya hidup maupun meninggal. 

Luasnya ruang lingkup ini kemungkinan akan menambah banyak rekomendasi untuk dilaksanakannya pengasapan. Kasus DD yang selama ini berjumlah lebih banyak hingga 3 kali lipat atau lebih dari kasus DBD akan menjadi pertimbangan untuk melakukan pengasapan. Hal ini juga menambah focus petugas program DBD kepada kasus-kasus DD. DD yang selama ini agak “terabaikan” dan dianggap tidak berbahaya, menjadi penyakit yang sama bahayanya dengan DBD. Pengamatan dan fungsi surveilans epidemiologi harus mengamati trend kasus DD juga karena keberadaannya bermakna.

Demikian pula tentang kriteria tambahan kasus di lapangan. Demam tanpa sebab yang menurut pedoman terdahulu hanyalah berarti kasus demam tanpa penyebab yang jelas seperti observasi demam dan demam kejang, kini menurut buku pedoman pencegahan dan penanggulangan DBD di Indonesia terbitan Kementerian Repulik Indonesia tahun 2017 diartikan suspek DBD. Hal ini menegaskan lagi bahwa adanya kasus tambahan di lapangan sebanyak 3 orang yang dapat memenuhi syarat pengasapan bukan hanya demam tanpa penyebab yang jelas saja. Melainkan demam selama 2-7 hari (>39 derajat celsius), dengan disertai manifestasi perdarahan. Baik manifestasi perdarahan makro maupun mikro.

Aturan baru ini benar-benar mewajibkan petugas yang akan melaksanakan Penyelidikan Epidemiologi (PE) harus minimal membawa tensimeter karena manifestasi perdarahan mikro minimal ditandai dengan adanya ruam. Dan untuk mengetahui ruam tersebut harus dilakuka prosedur Rumpel Leede Test (RL test) atau Tourniquete Test.

Tes tourniquet (juga dikenal sebagai uji kerapuhan kapiler Rumpel-Leede atau hanya tes kerapuhan kapiler ) menentukan kerapuhan kapiler . Ini adalah metode diagnostik klinis untuk menentukan kecenderungan hemoragik pasien. Ini menilai kerapuhan dinding kapiler dan digunakan untuk mengidentifikasi trombositopenia (jumlah trombosit yang berkurang).

 

Tes Tourniquet

 


Tes ini merupakan bagian dari algoritma WHO untuk diagnosis demam berdarah. Manset tekanan darah diberikan dan digembungkan ke titik tengah antara tekanan darah sistolik dan diastolik selama lima menit. Tes ini positif jika ada lebih dari 10 hingga 20 petechiae per inci persegi. 

Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa tes tourniquet mungkin tidak memiliki spesifisitas tinggi. Faktor-faktor yang mengganggu dengan tes ini adalah wanita yang pramenstruasi, postmenstrual dan tidak mengonsumsi hormon, atau mereka yang kulitnya rusak karena matahari, karena semuanya akan meningkatkan kerapuhan kapiler. Namun banyak penelitian lain menunjukkan bahwa tes tourniquet memiliki spesifisitas yang baik tetapi sensitivitasnya rendah. Oleh karena itu, penggunaannya sebagai tes diagnostik untuk demam berdarah dipertanyakan karena orang yang memiliki tes negatif mungkin masih menderita demam berdarah. Itu tidak lagi digunakan sebagai tes klasifikasi untuk demam berdarah dengue dalam pedoman WHO terbaru secara konfirmasi, namun masih digunakan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dalam menentukan status suspek infeksi Dengue.

 

b.      Interval waktu epidemiologi antar kasus

Pedoman terdahulu menyatakan bahwa sebuah kumpulan kasus dinyatakan ada hubungan epidemiologi jika memiliki jarak waktu maksimal adalah 3 minggu, diambil dari tanggal awal demam. Sementara buku pedoman pencegahan dan penanggulangan DBD di Indonesia terbitan Kementerian Repulik Indonesia tahun 2017 mempersempit interval waktu epidemiologi antar kasus tersebut menjadi 1 minggu. Jika ada kasus tambahan lain di luar interval itu maka dianggap tidak ada hubungan secara epidemiologis dengan kasus lainnya. Baik itu kasus konfirmasi ataupun suspek.

Dalam hal menyempitnya interval waktu epidemiologi antar kasus ini akan mengurangi rekomendasi pengasapan. Banyak kasus yang dengan pedoman terdahulu dianggap memenuhi syarat pengasapan, kini tidak. Perubahan ini yang mungkin bisa memicu gejolak di masyarakat yang masih “fogging minded”. Jika tidak dikomunikasikan dengan baik, dapat menjadikan salah paham mengenai respon tanggap pemerintah dalam penanggulangan kasus DBD di masyarakat.

Petugas DBD di lapangan harus lebih intensif lagi dalam penelusuran historis riwayat penyakit infeksi Dengue di lapangan, terutama mengenai tanggal awal demam kasus tersebut yang sangat bermakna.

 

c.       Kriteria dilakukannya pengasapan.

Pedoman terdahulu mempunyai kriteria pengasapan DBD sebagai berikut:

1.      Ditemukan 1 kasus DBD dan tambahan minimal 1 kasus DBD

2.      Ditemukan 1 kasus DBD dan tambahan 3 kasus demam tanpa sebab

3.      Ditemukan 1 kasus DBD meninggal dunia

Semua kriteria di atas memenuhi interval waktu maksimal 3 minggu dan jarak tempat antar kasus maksimal 100 meter. Dengan tambahan syarat lingkungan adalah adanya house index >5% (rumah yang ada jentik nyamuknya).

Berbeda dengan point di atas, kriteria pengasapan dan tatalaksana kasus DBD menurut buku pedoman pencegahan dan penanggulangan DBD di Indonesia terbitan Kementerian Repulik Indonesia tahun 2017 adalah sebagai berikut:



Perbedaan spesifik dalam kriteria pengasapan berdasarkan buku pedoman pencegahan dan penanggulangan DBD di Indonesia terbitan Kementerian Repulik Indonesia tahun 2017 adalah mengaplikasikan ruang lingkup kasus tadi ke dalamnya. Semua kasus infeksi Dengue baik DBD, DD, DSS maupun EDS masuk pertimbangan kriteria pengasapan. Kasus infeksi Dengue meninggal tidak lagi dianggap sebagai kasus yang harus dilakukan pengasapan jika tidak ada tambahan kasus. Kriteria pengasapan terbaru ini berfokus pada inti tujuan dari pengasapan itu sendiri yakni memutus mata rantai penularan kasus. Maka untuk dilakukan pengasapan harus dibuktikan adanya penularan dan adanya vektor penular di lapangan. Rentang waktu antar kasus yang dinyatakan berhubungan secara epidemiologis juga berubah menjadi 1 minggu. 

 

 

4.      Penerapan Pedoman DBD baru di lapangan

Perubahan pedoman tata laksana DBD di lapangan sesuai dengan buku pedoman pencegahan dan penanggulangan DBD di Indonesia terbitan Kementerian Repulik Indonesia terbitan tahun 2017, yang diaplikasikan di Kabupaten Tegal mulai tahun 2018 ini mengubah tata kerja petugas DBD di lapangan diantaranya:

a.       Selalu membawa alat tensi meter saat melakukan Penyelidikan Epidemiologi untuk skrining kategori suspek Dengue pada tambahan kasus di lapangan.

b.      Meningkatkan pengamatan surveilans kasus DD.

c.       Menegaskan batasan kriteria klinis dan laboratorium kasus DBD dan DD.

d.      Interval maksimal 1 minggu sebagai kriteria hubungan epidemiologi antar kasus, meningkatkan pengamatan tambahan kasus di lapangan dalam rentang harian. Hal ini juga memicu untuk melakukan respon cepat terhadap adanya rumor di masyarakat.

e.       Melakukan komunikasi yang baik dengan tokoh masyarakat dan warga mengenai pedoman ini disertai dengan segi yang melatarbelakanginya secara komprehensif untuk memberi pemahaman dan mengurangi kemungkinan timbulnya gejolak di masyarakat, khususnya dalam hal desakan masyarakat yang menginginkan pengasapan tanpa indikasi yang tepat.

 

Berikut ini tabel jumlah kasus infeksi Dengue dan jumlah fogging di Kabupaten Tegal sejak tahun 2016 hingga bulan September 2020.

Tahun

Kasus DBD

Jumlah kasus DD

Kasus Dengue Meninggal

Jumlah Fogging focus DBD

2016

610

1156

18

151

2017

261

333

3

60

2018

77

286

1

10

2019

370

1449

3

55

s.d September 2020

332

1291

4

83



 

Dari tabel dan grafik di atas mengambarkan bahwa sampai dengan bulan September tahun 2020 terjadi penurunan kasus DD dan DBD namun terjadi kenaikan jumlah fogging focus. penerapan pedoman tata laksana pengasapan DBD yang baru ini belum dapat disimpukan berhubungan dengan naik atau turunnya jumlah fogging focus kasus DBD di lapangan, karena masih banyak variable lain selain jumlah kasus DBD yang ada di tahun 2018 sampai dengan sekarang. variable lain seperti masuk tidaknya kasus infeksi Dengue yang ada itu ke dalam syarat kriteria pengasapan DBD. Masih ada variable sebaran kasus dan sebaran waktu yang menentukan berhubungan atau tidaknya secara epidemiologis. Artiya, dalam penerapan pedoman tata laksana pengasapan ini, jumlah kasus infeksi Dengue tidak berpengaruh positif terhadap jumlah kegiatan fogging focus.

 

5.      Kesimpulan

 

Pengendalian vektor diatur dalam permenkes nomor 374 tahun 2010. Pengendalian vektor bertujuan untuk mencegah/ membatasi terjadinya penularan penyakit tular vektor di suatu wilayah sehingga penyakit tersebut dapat dicegah dan dikendalikan. Dirjen P2P Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2017 menerbitkan buku pedoman pencegahan dan penanggulangan DBD di Indonesia yang harus diimplementasikan di seluruh wilayah

Dinas Kesehatan Kabupaten Tegal mulai menerapkannya sebagai pedoman pelaksanaan pengasapan /fogging untuk penanggulangan DBD di lapangan. Jika memang memenuhi syarat indikasi fogging maka Dinas Kesehatan akan merekomendasikan penngasapan bahkan tanpa adanya permintaan sekalipun. Namun jika memang tidak memenuhi syarat indikasi fogging, maka Dinas Kesehatan pasti akan menolak memberikan rekomendasi pengasapan.

Fogging hanyalah salah satu dari tindakan pengendalian vektor. Tindakan vektor lain adalah seperti Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan 3M (Menguras, Menutup, Mendaur ulang barang bekas), larvasida, melakukan tindakan-tindakan mengurangi populasi nyamuk seperti mengurangi pakaian yang bergelantung, memberi udara dan cahaya yang cukup dalam ruangan, memakai kelambu, menggunakan repelent nyamuk, memelihara ikan, ovitrap, larvitrap, dan ssebagainya.

No comments:

Post a Comment