Audio Bumper

Sunday, August 19, 2018

Opini: Status Eliminasi Kusta bisa dicabut kembali. lho!

Bisakah Kab. Tegal Eliminasi kusta di 2019? Memang indikatornya jelas, yaitu prevalensi kusta < 1 per 10 ribu penduduk, namun tentunya angka itu akan terwujud dengan syarat dan ketentuan tertentu, agar status eliminasi bisa dipertahankan. 5 Hal penting untuk eliminasi tersebut, adalah:





1. Bagaimana proporsi cacat tingkat II pada kasus baru 
Lihatlah kasus baru yang akan kita temukan. Apakah kasus baru tersebut cacat? jika proporsi cacat tingkat II tinggi pada kasus baru, maka meskipun prevalensi kusta kita berhasil di angka < 1 per 10 ribu penduduk, nanti, bersiaplah angka prevalensi kita akan kembali tinggi.
Dengan tingginya kasus cacat tingkat II pada kasus baru itu artinya kasus tersebut sudah terlambat ditemukan. Keterlambatan rentang waktu penemuan tersebut akan memungkinkan telah menularnya kusta ke orang lain. 

2. Bagaimana proporsi kasus kusta anak pada kasus baru
Lihat pula kasus baru yang akan kita temukan. Jika proporsi kusta anak tinggi pada kasus baru, menggambarkan masih adanya penular kuman kusta di sekitarnya yang mungkin belum terdeteksi. Dan selama si penular penyakit ini tidak ditemukan dan diobati, maka rantai penularan akan terus berlanjut. Berimbas akan naiknya kembali angka prevalensi.

3. Cakupan pemeriksaan kontak
Siapakah orang yang paling tinggi resiko terpapar penularan kusta? tentunya adalah kontak erat penderita. Mereka yang tinggal terus bersama selama berbulan-bulan, bertahun-tahun, bisa keluarganya, bisa teman kerjanya atau hubungan lain yang memungkinkan sering bertemu dengan penderita. 
Ya, mereka disebut kontak erat. Maka dari itu strategi penemuan kasus baru difokuskan pada pemeriksaan kontak erat, baik kontak erat pasien baru maupun pasien lama. Jika pencarian kasus kita dilakukan pada orang-orang yang jauh dari resiko tertular, wajar jika kita tidak menemukan kasus baru. 

4. Kegiatan penemuan kasus aktif atau pasif
Mengapa dalam penemuan kasus baru ada penemuan aktif dan pasif? Apa makna dari semua itu? Sebenarnya penemuan kasus pasif itu mengandalkan kesadaran yang didasari pengetahuan masyarakat tentang ilmu kesehatan, tanda gejala, atau sekedar rasa ingin tahu yang tinggi akan status kesehatan pribadi. Tentunya penemuan kasus pasif akan berbeda pada daerah dan level pendidikan tertentu. Kita tidak bisa mengandalkan penemuan kasus baru dengan datangnya masyarakat atas apa yang dia keluhkan saja. Belum tentu masyarakat sadar periksa, ada kalanya mereka malu, ada kalanya menganggap hal bercak putih mati rasa adalah penyakit kulit biasa yang tidak begitu bermakna. 
Penundaan ini yang akhirnya sampai dengan terjadinya penemuan kasus yang terlambat, berefek pada kecacatan, dan yang lebih berbahaya lagi adalah sisi epidemiologisnya, yakni menjadi mata rantai penularan yang tersembunyi.
Jika penemuan pasif kita tinggi, itu bisa berarti dua hal, pertama, artinya promosi kesehatan kita berjalan dengan naiknya level "awareness" masyarakat. Namun siapa sangka hal itu menandakan adanya fenomena gunung es, dimana di lapangan masih lebih banyak kasus yang tersembunyi.
Jika penemuan pasif kita rendah, itu pun bisa kita maknai dua hal. Yakni, memang jumlah pasien baru kusta kita menurun, tapi tiada yang tahu bahwa ini pertanda pengetahuan masyarakat kita rendah tentang kusta-meskipun bisa jga pendidikan akademis tinggi.
Maka jelas sudah, bahwa pemeriksaan aktif maupun pasif sama pentingnya. Siapa sih yang bakal mengetahui adanya sebuah bercak di tubuh bagian belakang kita yang sudah dewasa?-misalnya.
Kesadaran kita akan pentingnya kedua jenis pemeriksaan ini akan membantu terjaganya angka prevalensi. Tentunya, turunnya standar jumlah penemuan kasus baru di daerah kita memang benar-benar tercipta karna telah berkurangnya kasus di masyarakat secara drastis, kelak.

5. Validitas data
Seperti halnya semua program kebijakan, diambil berdasarkan data. Pentingnya data tidak dimungkiri lagi akan mempengaruhi keputusan yang diambil, termasuk Eliminasi Kusta yang sedang kita kejar. Data tidak akan bisa menyembunyikan kenyataan di lapangan. Bisa saja kita bilang bahwa prevalensi kita memang rendah (dengan data abal-abal), maka endapan kasus kusta yang terus meninggi di lapangan akhirnya mencuat juga ke publik. Terlebih, di era keterbukaan informasi ini dimana arus informasi komunikasi itu sendiri tidak bisa kita bendung. Lantas, akankah kita benar-benar eliminasi? dan bisa mempertahankannya selamanya? tergantung bagaimana kita memperhatikan kelima hal tersebut di atas.

Slawi, 20 Agustus 2018
ditulis oleh: Bagus Johan Maulana, SKM
sumber: Materi pertemuan Validasi Data Kusta, Provinsi Jawa Tengah 2018

Wednesday, August 1, 2018

Opini: Bagaimana agar pasien patuh berobat?

Kusta? Putus obat? menolak berobat? Siapa yang butuh sembuh? adakah resikonya dari putus obat?



Strategi penanggulangan kusta yaitu degnan memutuskan rantai penularan kusta, hanya ada 2 cara:

1. Temukan penderita baru
2. Obati penderita sampai tuntas

Strategi menemukan penderita baru berbagai langkah dari penemuan aktif sampai dengan pasif (pasien sukarela datang periksa). Penemuan aktif yaitu dengan pemeriksaan kontak erat kusta baik penderita lama maupun baru, juga dengan pemeriksaan anak sekolah, pencarian aktif seperti ICF (Intensif case Finding) dan RVS (Rapid Village Survey).

Lantas bagaimana strategi mengobati pasien sampai tuntas atau RFT (Release From Treatment)? Berbagai kendala ada penderita yang putus obat dengan berbagai alasan dari mulai menganggap dirinya sudah sembuh meski belum tuntas berobat, ada yang tidak nyaman dengan efek samping, sampai dengan kendala kendala subyektif yang lain seperti repot danmenganggapnya tidak penting.

Penderita memang mempunyai hak untuk tidak minum obat jika dilihat dari perspektif hak sebagai pasien. Namun dalam sisi epidemiologis, kita sebagai petugas kesehatan masyarakat wajib mengantisipasi penyebaran penyakit menular, meskipun kusta itu penyakit menular yang terabaikan. Justru karena terabaikan ini cenderung lepas dari monitor dan kontrol kita sebagai petugas kesehatan. Hingga akhirnya penularan pun terjadi tanpa kontrol.

Dampaknya itu, yang tidak kita inginkan, yakni penularan berlanjut, tingkat cacat, kusta pada anak dsb. Dimana semua orang yang menjadi kontak eratnya juag mempunyai hak untuk hidup sehat, bebas dari tertular penyakit itu. Anak, anak,keluarga, tetangga, teman kerja penderita itu mempunyai hak untuk sehat yang harus kita jaga dan lindungi.

Penderita tidak bisa ego dengan memikirkan dirinya sendiri saja, merasa berhakmenolak pengobatan dan mengabaikan hak lain untuk sehat. Itu tak mengapa jika penyakit yang diderita adalah penyakit tidak menular,dia sendiri yang akan menanggung kerugian itu. Meskipun keluarga juga akan secara tidak langsung menerima dampak kerugian tersebut.

Namun kusta ini penyakit menular, dimana Indonesia menjadi juara 3 dunia dalam beban kusta. Ini bukan main-main. Dari peringkat ini pun akan ada dampaknya di level dunia, yang pastinya penderita yang ego ini tidak sampai berpikir jauh kesana. Bagaimana dunia memandang kita? Bagaimana investor dunia memandang sehat atau tidaknya iklim investasi di Indonesia, bagaimana sektor ekonomi dan pariwisata akan berkembang dengan peringkat hebat dunia dalam penyakit menular? Alih alih memikirkan cadangan devisa akan turun? penderita yang ego ini memang hanya memikirkan diri sendiri dalam zona nyamannya. 

Untuk kepentingan yang lebih besarm untuk menghormati dan menjaga hak-hak orang lain yang mempunyai resiko terbesar tertular penyakit ini, kita tidak tinggal diam. Tuntas berobatnya pasien adalah keharusan, dilihat dari kewajiban kita menghentikan penyebaran penyakit menular ini. Maka sah-sah saja kita lebih meneguhkan komitmen karena kita tidak bisa menjadi pengawas minum obat. Yakni dengan sebuah surat pernyataan bersedia berobat. Ini pernyataan, sebuah public comitment yang dinyatakan oleh penderita bahwa dia bersedia menjalani pengobatan sesuai aturan sampai tuntas. 

Faktanya, manusia jika menulis Goalnya, terbukti 38% tercapai. Dan manusia yang melaporkan komitmenntya ke publik 78 % tercapai. Dan jika hidup sehat adalah hak dari semua kontak erat pasien kusta, mengapa tidak kita libatkan mereka jika pasien tersebut akan menolak berobat? apakah mau mereka sakit tertular penyakit dari pasien ini? tentu tidak. Jadi dengan adanya surat pernyataan menolak menerima pengobatan pun ini akan membuat pasien berpikir dua kali sebelum memutuskan berhenti berobat, karna kontak erat pun tidak akan bersedia tertular. Justru kontak erat pasien seharusnya mampu mendukung pasien ini berobat sampai tuntas.


 

oleh: Bagus Johan Maulana, SKM. Wasor Kusta Kab.Tegal