Audio Bumper

Monday, February 18, 2019

Area Epidemiologis kasus DBD

Perlu kita perhatikan dalam tatalaksana DBD di lapangan, area yang bermakna secara epidemiologis pada kasus DBD. Jika terjadi kasus infeksi Dengue, baik DD/DBD, maka kewajiban petugas Puskesmas untuk melakukan PE (penyelidikan Epidemiologi). PE ditujukan untuk verifikasi rumor, mencari faktor resiko penyebab penyakit dan mencari kemungkinan adanya penyebaran penyakit di lapangan. Seberapa luaskah area petugas untuk melakukan PE? 



Menurut Buku Pedoman Penanggulangan DBD Kemenkes RI tahun 2015, area PE dilaksanakan seluas radius 100 m dari kasus utama (index case). Jika terdapat kasus tambahan di luar radius 100 m ini maka dianggap tidak berhubungan secara epidemiologis dengan kasus utama. Namun seiring meluasnya rantai penularan, maka setiap kasus tambahannya memiliki area epidemiologis berupa radius 100 m dari rumahnya. 

Misalnya, ada 4 rentetan kasus Dengue yang terjadi di setiap minggunya dalam suatu bulan. Masing-masing kasus memiliki hubungan epidemiologis secara tempat dan waktu dengan kasus berikutnya. Kasus ke-1 memiliki hubungan epidemiologis secara langsung dengan kasus ke-2. Kasus ke-2 memiliki hubungan epidemiologis secara langsung dengan kasus ke-3. Kasus ke-3 memiliki hubungan epidemiologis secara langsung dengan kasus ke-4. Namun kasus ke-1 tidak memiliki hubungan epidemiologi secara langsung (jarak tempat dan waktu) dengan kasus ke-3. Demikian pula kasus ke-2 juga tidak memiliki hubungan epidemiologis secara langsung dengan kasus ke-4.

Kondisi demikian bisa disebut semua kasus tersebut memiliki hubungan epidemiologis secara tidak langsung. Semuanya tetap disebut satu kluster, satu rangkaian penularan, satu serangan. Baik kasus pertama, maupun kasus terakhir, semuanya memiliki potensi untuk menyebar di masing-masing area epidemiologisnya. Maka jika di lapangan terdapat beberapa rentetan kasus demikian, masing-masing kasus harus dilakukan PE dengan radius 100 m dari rumahnya.

Area yang menjadi tata laksana kasus di lapangan adalah kasus terakhir. Kasus pertama, jika tidak ada tambahan kasus, itu diartikan sudah terjadi pemutusan rantai penularan secara alamiah. Yang perlu ditindaklanjuti agar penularan berhenti adalah kasus yang sekarang sedang aktif atau kasus terakhir. Jika misalnya sebuah kasus Dengue menular menyebar ke arah kanan dan kiri rumahnya, terus berderet menular hingga saling menjauh dan berjarak lebih dari 300 m antara kasus di ujung kanan dan kirinya, maka tata laksana kasus di lakukan di ujung kanan dan kiri kasus terakhir, dengan masing-masing radius 200 m dari rumahnya. 

Tata laksana kasus Dengue di lapangan ada 4, yakni:
1. Penyuluhan
2. Abatisasi
3. Pemberantasan Sarang Nyamuk
4. Fogging

Area epidemiologis ditentukan karena mempertimbangkan rantai penularan penyakit, yaitu lokasi penderita dan jarak terbang nyamuk penyebab DBD. Area ini tidak melihat batas administrasi seperti batas RT/RW/desa, bahkan batas kecamatan atau kabupaten, karena nyamuk dapat terbang tanpa melihat batas-batas itu.

Petugas di lapangan harus mengawal pelaksanaan tatalaksana kasus di lapangan, seperti area untuk pelaksanaan fogging, jika memenuhi kriteria. Tujuannya adalah untuk memastikan tata laksana kasus di lapangan dilakukan pada area epidemiologis yang beresiko dan dapat efektif menghentikan rantai penularan.