Audio Bumper

Wednesday, July 1, 2020

Skrining DBD

Bagaimana memastikan seseorang terkena DBD atau tidak? Dalam menanggapi rumor adanya kasus DBD di masyarakat atau saat kita melakukan penyisiran untuk menemukan apakah ada tambahan kasus dalam sebuah kegiatan Penyelidikan Epidemiologi, kita perlu melakukan verifikasi kasus. Ada tahapan dalam skrining (penyaringan) diagnosa penyakit DBD untuk memutuskan apa betul seseorang itu terkena penyakit DBD atau bukan.

Seseorang dinyatakan positif infeksi Dengue setelah melewati 3 tahap skrining diagnosa kasus DBD, yakni:
1. Tersangka (Suspek) DBD
2. Klinis  
3. Konfirmasi


Suspek Dengue

Diagnosa tersangka/ suspek DBD ditandai dengan demam tinggi (39 derajat celcius atau lebih) mendadak 2-7 hari, disertai manifestasi perdarahan. Manifestasi perdarahan ada 2, makro dan mikro. Perdarahan makro seperti muntah darah, mimisan, melena. Perdarahan mikro adalah seperti adanya ruam (bintik merah). Sekurang-kurangnya manifestasi perdarahan untuk seseorang dinyatakan suspek infeksi Dengue adalah ruam positif dari hasil uji torniquet/ Rumple Leed (test). Untuk itu petugas Puskesmas wajib membawa tensimeter untuk mengukurnya dan memutuskan suspek DBD di tahap skrining awal ini.


  


Jika seseorang dinyatakan suspek DBD, pertolongan pertama adalah memberinya banyak minum dan berikan obat penurun panas yang ada di pasaran. Kemudian rujuk penderita suspek DBD itu ke dokter untuk penyaringan diagnosa lebih lanjut, yakni tahap klinis. Jika seseorang tidak memenuhi kriteria suspek DBD, maka tidak perlu dilakukan skrining tahap kedua (klinis). Dia sudah gugur dan dinyatakan negatif DBD.


Diagnosa Klinis DBD

Diagnosa klinis hanya bisa diputuskan oleh tenaga medis. Jika seorang suspek DBD sudah dibawa ke tempat pelayanan kesehatan dan dokter mendiagnosanya sebagai observasi DD/DBD, atau infeksi DD/DBD, baik menjadi diagnosa utama ataupun tambahan, maka penderita tersebut perlu menjalani skrining tahap ketiga yakni konfirmasi laboratorium. Namun jika secara klinis dokter tidak mendiagnosanya sebagai observasi DD/DBD atau infeksi DD/DBD melainkan penyakit lainnya, maka pasien tersebut tidak perlu melanjutkan ke tahap skrining berikutnya (konfirmasi laboratorium). Pasien tersebut sudah dinyatakan bukan DD/DBD melainkan dia menderita penyakit lainnya. 


Konfirmasi Laboratorium

Konfirmasi laboratorium infeksi Dengue bisa dilihat dari hasil pemeriksaan Trombosit dan Haematokrit. Pasien dinyatakan DBD jika Trombosit kurang dari 100.000/uL dan kenaikan atau penurunan Haematokrit lebih dari 20%. Sementara pasien DD memiliki gambaran laboratorium Trombosit yang kurang dari  150.000/uL dan kenaikan atau penurunan Haematokrit lebih dari 5%.

Hasil laboratorium kenaikan atau penurunan Haemotokrit lebih dari 20% bisa tergambarkan dari tanda klinis asites, atau efusi pleura atau hipoprotein/ hipoalbuminemia. Seseorang yang telah melawati 3 tahap skrining inilah yang bisa dinyatakan positif terkonfirmasi infeksi Dengue (DD/DBD). 


Syarat Fogging

Fogging (pengasapan) DBD direkomendasikan untuk memutus mata rantai penularan DBD di lapangan. Untuk itu harus dibuktikan terlebih dahulu adanya 2 hal, yaitu:
1. Adanya penularan penyakit
2. Adanya vektor penyebab penularan

Adanya penularan infeksi dengue dibuktikan dengan adanya minimal 2 kasus infeksi Dengue (DD/DBD) dengan jarak domisili penderita kurang dari 100 meter dan jarak waktu sakit kurang dari seminggu. Jarak waktu sakit diambil dari tanggal awal demam penderita. Penularan juga digambarkan dengan adanya 1 penderita konfirmasi positif infeksi Dengue (DD/DBD) ditambah 3 suspek DBD dalam jarak tempat dan jarak waktu yang sama seperti kriteria sebelumnya. 

Batasan mengenai jarak tempat dan jarak waktu dibuat untuk menentukan apakah ada hubungan penularan di antara kasus yang sedang terjadi. Jika jarak tempat domisili antara dua kasus lebih dari 100 meter atau jarak waktu sakit lebih dari 1 minggu maka kedua kasus itu dinyatakan tidak ada hubungan penularan secara keilmuan epidemiologi. Artinya kedua kasus tersebut bisa saja kasus infeksi Dengue (DD/DBD) yang masing-masing berdiri sendiri dan tidak saling menularkan. Jika demikian, maka tidak perlu dilakukan pemutusan rantai penularan dengan pengasapan disitu.

Adanya tambahan 3 kasus suspek DBD yang menjadi kriteria kedua untuk dilaksanakannya fogging, diartikan juga sebagai adanya penularan kasus Dengue di lapangan. Hal ini merekomendasikan untuk dilaksanakannya fogging juga sebagai respon cepat pengendalian penyakit DBD di lapangan untuk mencegah KLB, tanpa perlu menunggu konfirmasi laboratorium pada 3 tambahan kasus suspek tersebut. Karena jika harus menunggu konfirmasi laboratorium 3 suspek DBD tersebut relatif membutuhkan waktu sedangkan penularan sudah diasumsikan terjadi di lapangan. Meskipun bisa saja ternyata 3 tambahan suspek Dengue tersebut hasilnya negatif setelah dikonfirmasi laboratorium lebih lanjut.

Kriteria fogging juga harus dibuktikan dengan adanya vektor penular penyakit ini yakni nyamuk Aedes Aegypti atau AedesAlbopictus. Hal ini dibuktikan dengan adanya jentik nyamuk sebanyak minimal 5% di area penularan kasus. Jika tidak ada bukti keberadaan vektor nyamuk di daerahnya, maka asumsinya penularan kasus terjadi bukan disitu. Bisa saja terjadi di luar area epidemiologis domisilinya. Mungkin kedua kasus tersebut memiliki hubungan faktor tempat penularan yang lain. Misalnya, kedua kasus tersebut bisa saja sekolah bersama di sebuah SD. Maka perlu dilakukan pemeriksaan kontainer di SD tersebut, mungkin penyebabnya ada disana. 

Jika benar ditemukan vektor penular di SD tersebut, maka lokasi fogging dilakukan di SD tersebut, bukan di sekitar rumah penderita. Jika tidak ditemukan ada hubungan faktor tempat penularan yang sama, maka tidak dilakukan fogging. Karena bisa saja keduanya adalah kasus yang tidak berhubungan secara epidemiologis. Bisa saja keduanya adalah kasus individu yang masing-masing tertular dari tempat yang berbeda, hanya saja kebetulan mereka mempunyai domisili yang sama.