Audio Bumper

Thursday, September 12, 2019

Frambusia online

Untuk menuju Kabupaten Tegal bebas frambusia, maka tahun 2023 ini akan dilakukan penilaian eradikasi frambusia yang dijadwalkan bulan Agustus 2023. Sebagai bukti Puskesmas melakukan fungsi surveilans frambusia adalah dengan melaporkan laporan frambusia online bulanan.


 
 




Pelaporan dengan cara membuka web:

atau langsung ke menu laporan bulanan zero report:

Untuk laporan frambusia online tahun 2023 di sini: https://bit.ly/frambusiaonline2023

link laporan onlin frambusia 2024: https://bit.ly/frambusiaonline2024


Lalu isilah laporannya. Ikuti prosesnya. 

Jika sudah selesai, Rekapitulasi provinsi laporan bisa dilihat di:

Rekapan Puskesmas 2022

Rekapan Puskesmas 2023 

hasilnya 

Laporan frambusia ini dilakukan setiap bulan secara rutin dari semua Puskesmas di Indonesia. 

Khusus jika ditemukan kasus frambusia, dilaporkan di sini: 




Bagaimana monev kuis:

eVALUASI KUIS frambusia puskesmas: 

Evaluasi skor/nilai tiap ID:















Sunday, July 7, 2019

obat profilaksis malaria


semua dokter boleh meresepkannya.

Thursday, April 4, 2019

Instruksi Bupati cegah DBD

Bupati Tegal membuat instruksi tentang gerakan serentak pencegahan dan pengendalian penyakit demam berdarah dengue (DBD). Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue, ditularkan oleh gigitan nyamuk Aedes Aegipty dan Aedes Albopictus, merupakan salah satu penyakit menular yang sampai saat ini belum ada obatnya. 

Penyakit ini berpotensi menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB), bahkan kematian. Pada musim hujan, biasanya di awal dan akhir tahun, diperlukan pencegahan dan pengendalian penyakit ini. Maka Bupati Tegal menginstruksikan kepada semua kepala OPD, Camat, dan Kepala Desa/ Lurah, terutama daerah endemis/ sporadis untuk serentak melakukan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN).

Desa endemis adalah desa yang selama 3 tahun berturut-turut terdapat kasus DBD. Desa sporadis adalah desa yang dalam 3 tahun terakhir ada kasus DBD meskipun tidak berturut-turut tiap tahunnya. Total desa endemis di Kabupaten Tegal tahun 2018 ada 21 desa, dan desa sporadis sejumlah 197 desa. Sisanya disebut desa potensial DBD.

PSN yang diinstruksikan disini adalah melalui 3M plus, menguras bak mandi, menutup tempat penampungan air dan mendaurulang barang bekas yang bisa menampung air hujan. Ditambah dengan kegiatan mencegah gigitan nyamuk seperti memelihara ikan pemakan jentik, memakai kelambu/ repelent anti nyamuk, mengurangi gantungan baju, menyediakan cahaya dan udara yang cukup dalam rumah untuk mengurangi kelembaban, memakai perangkap nyamuk (ovitrap/ larvitrap), dsb.

Bupati juga menginstruksikan penyuluhan intensif pada masyarakt agar bisa bersama-sama melakukan PSN. Masyarakat diharapkan aktif menjadi pemantau jentik di rumahnya masing-masing. Gerakan 1 rumah 1 jumantik dapat memberdayakan masyarakat untuk memantau kontainer (tempat air) yang ada di rumah masing-masing. Sehingga masyarakat bertanggung jawab atas lingkungannya sendiri. Tidak mungkin masyarakat melempar tanggungjawab kebersihan dan kesehatan lingkungannya kepada petugas kesehatan.

Bupati juga menginstuksikan agar semua pihak bisa melakukan kewaspadaan dini. Jika terdapat laporan / rumor kasus DBD, dapat segera membawanya ke fasilitas kesehatan terdekat untuk diberi pertolongan. Camat di wilayah endemis juga diinstruksikan membentuk Pojnakal DBD (kelompok kerja nasional) penyakit DBD. Untuk pelaksanaan fogging sebagai tatalaksana kasus DBD di lapangan, dilakukan secara selektif sesuai indikasi, berdasarkan hasil penyelidikan epidemiologi di lapangan.





Monday, April 1, 2019

Permudah pemeriksaan kontak erat dengan formulir cari bercak


Pemeriksaan kontak erat pasien kusta, dilakukan seketika itu juga ditemukan, baik pasien PB maupun MB. Kontak erat adalah orang yang sering bertemu dengan pasien tersebut, minimal 20 jam dalam seminggu. Pemeriksaan kontak erat pasien baru ini dengan tujuan mengetahui sumber penularannya. Dari siapa dia tertular?

Khusus untuk pasien MB, pemeriksaan kontak erat tidak hanya dilakukan seketika pasien itu ditemukan saja. Namun juga dilakukan setelah 3 tahun dari penemuan kasus kusta tersebut. Dilakukan selama 4 tahun berturut turut. Mengapa efektifnya hanya pada pasien MB? karena MB lebih menular daripada PB. Jadi, jika dihitung, pemeriksaan kontak erat pasien MB dilakukan sebanyak 5 kali.

Jika hal ini sudah jelas, sasaran juga sudah jelas, by name, by adress. Kita tahu kontak erat pasien mana saja yang akan dikunjungi tahun ini. Maka seharusnya, kita bisa melakukan perencanaan dengan matang untuk kegiatan ini. Kegiatan ini sudah masuk rutinitas program kusta, ini bukan sebuah acara khusus yang tiba-tiba diadakan. Maka, tidak ada alasan untuk tidak melakukan perencanaan untuk kegiatan ini, termasuk pembiayaan kegiatan.




Sebagai contoh, jika ditemukan pasien baru MB tahun 2014, maka seketika itu (tahun 2014) dilakukan pemeriksaan kontak erat. Tiga  tahun berikutnya, dilakukan lagi selama 4 tahun berturut-turut, yakni tahun 2017, 2018, 2019, 2020. Kunjungan ini adalah untuk mengetahui apakah sebelum pasien diobati MDT dahulu (tahun 2014) sudah menularkan ke orang lain? Jika iya, maka gejalanya akan muncul di tahun 2017 sampai dengan 2020 tersebut.


Tahun 2019 ini, pemeriksaan kontak erat kusta, adalah pasien MB temuan tahun 2013-2016. Mengapa bukan 2014-2017? Karena, jika mengambil range pasien 2014-2017, maka dikhawatirkan tidak sesuai sasaran. Hal ini melihat dari masa inkubasi kusta yaitu 2-5 tahun. 

Lebih jelasnya demikian. Jika pasien MB temuan tahun 2017 dimasukkan dalam pemeriksaan kontak erat tahun 2019 ini, dikhawatirkan belum genap 2 tahun minimal masa inkubasinya, dari saat temuan hingga pemeriksaan kontak erat. Maka bisa saja gejala cardinal sign belum muncul. Misalkan saja, pasien itu dulu ditemukan akhir tahun 2017, namun pelaksanaan pemeriksaan kontak erat adalah awal tahun 2019.

Jika pasien MB temuan tahun 2014, adalah pasien temuan terjauh untuk diperiksa kontaknya di tahun 2019 ini, dikhawatirkan belum genap maksimal masa inkubasi 5 tahun, dari saat temuan kasus hingga saat pelaksanaan pemeriksaan kontak erat. Misalkan saja, pasien itu dulu ditemukan akhir tahun 2014, namun pelaksanaan pemeriksaan kontak erat adalah awal tahun 2019. Maka bisa saja gejala belum muncul, siapa tahu gejala akan muncul di akhir-akhir masa inkubasi, yaitu akhir tahun 2019.

Maka dari itulah range pasien temuan kusta MB yang diambil adalah temuan tahun 2013-2016. Karena pada kasus temuan tahun tersebut, dipastikan semuanya sudah melewati rata-rata masa inkubasi. Diharapkan kita akan menemukan penderita tambahan lain, yang dulu sempat tertular pasien indeks kasus kita itu, sebelum dia minum obat MDT.

Bagaimana mungkin kita akan bisa melakukan semua pemeriksaan kontak erat itu dengan intensif? Satu indeks kasus saja kita harus mengunjungi 5 rumah, yakni rumah penderita, tetangga depan, belakang, kanan, kiri. Melakukan pemeriksaan inspeksi kulit (dengan cara melihat), mencari bercak ke semua anggota keluarga di rumah tersebut. Berapa total orang dan rumah yang harus kita kunjungi dan periksa? Indeks kasus yang sudah meninggal pun tetap kita kunjungi, karena kontak erat mereka tetap beresiko tertular dari saat indeks kasus masih hidup dulu.

Kita perlu mempertimbangkan waktu dan tenaga, belum lagi saat kunjungan kita hanya bisa jam kerja, sedangkan bisa jadi yang dikunjungi juga sedang bekerja, akhirnya tidak bertemu, tentu tidak efektif.

Ternyata, ada solusi praktis mengenai hal ini, yaitu menggunakan formulir cari bercak. Mirip kegiatan ICF. Formulir tersebut bisa kita bagi terlebih dahulu melalui kader kesehatan. Dengan formulir ini, kita memberi tanggung jawab kepada kepala keluarga untuk memeriksa anggota keluarganya apakah ada bercak putih/ kemerahan. 

Hanya inspeksi saja, yang bisa dilakukan di tahap ini. Soal mati rasa atau tidak, itu tahap pemeriksaan berikutnya dengan tenaga kesehatan. Ketersediaan waktu 1 atau 2 hari untuk melakukan pemeriksaan bercak oleh kepala keluarga ini, memberi waktu sedikit longgar bagi kepala keluarga untuk memeriksa anggota keluarganya yang mungkin kesibukan beraktivitasnya sampai sore atau larut malam. Artinya tahap pemeriksaan inspeksi ini, tidak tergantung dari ketersediaan waktu tenaga kesehatan untuk bertemu secara langsung dengan semua anggota keluarga.

Selanjutnya, setelah formulir itu di tandatangani oleh kepala keluarga. Kader bisa membawanya kembali ke tenaga kesehatan. Lalu, dari sinilah kita akan men-skrining-nya, mana yang ada bercaknya sajalah yang selanjutnya dijadwalkan bertemu dengan kita untuk melakukan test mati rasa. Untuk mengefektifkan tenaga, kader bisa menginformasikan langsung mengenai jadwal pertemuan dengan tenaga kesehatan berikutnya (test mati rasa), pada saat kader mengambil kembali formulir cari bercak.

Dengan demikian, tenaga kesehatan bisa menghemat waktu, tenaga dan lebih efektif melakukan pemeriksaan kontak erat kusta. Tentunya hal ini juga harus didukung dengan pendanaan penggandaan formulir dan transport kader.


by: Bagus Johan Maulana, SKM
Link terkait: donwload formulir cari bercak: https://bit.ly/2uC8289
Download formulir rekapitulasi hasil pemeriksaan kontak erat kusta

Wednesday, March 13, 2019

Fogging harus seizin Dinkes

Pemkot Semarang bahkan telah memiliki Peraturan Daerah (Perda) nomor 5 tahun 2010 tentang pengendalian DBD. Pelaksanaan Fogging tanpa seizin Dinkes kota Semarang terancam denda 50 juta. "Sanksinya tipiring, denda Rp 50 juta atau enam bulan kurungan. Dalam penelitian, fogging hanya menghilangkan nyamuk dewasa, sedangkan nyamuk kecil menjadi kebal dan akan menambah banyak. Ini untuk mempertegas agar masyarakat tidak mudah melakukan fogging yang justru tidak efektif," kata Suharsono, anggota komisi C kota Semarang.



"Untuk wilayah Kabupaten Tegal sendiri, kami tidak membutuhkan tenaga penyemprot, alat, bahan bakar dan obat dari luar Dinas Kesehatan. Semuanya sudah tercukupi." ujar Ari Dwi Cahyani, SKM, M.Kes, Kasie P2PM. Ditemui di kantornya, Kamis (14/3) menanggapi adanya pihak swasta yang ingin melaksanakan fogging dengan alat, bahan dan tenaga sendiri.

Pihak swasta yang membeli sendiri alat fogging, melatih tenaga penyemprot dan sebagainya, tetap wajib mendapat izin dari Dinas Kesehatan Kabupaten Tegal untuk melakukan penyemprotan. Ini sebenarnya bukan mengenai ketersediaan alat, bahan, obat atau tenaga, namun keputusan melakukan fogging itu tidak bisa diputuskan sendiri tanpa rekomendasi hasil penyelidikan epidemiologi. Sebenarnya pihak selain Dinas Kesehatan tidak perlu melakukan pengadaan alat fogging, untuk apa? Toh Dinas Kesehatan Kabupaten Tegal akan melaksanakan fogging sesuai dengan indikasinya, bahkan tanpa diminta siapapun akan tetap dilaksanakan jika memang sesuai indikasi. Sepanjang tahun 2019 sampai dengan hari ini sudah ada 15 lokasi fogging fokus.

Masyarakat kadang berpikir jangka pendek. Fogging hari ini, yang penting tiga hari ke depan tidak ada nyamuk. Namun kita sebagai pemerintah, jajaran kesehatan, entomolog, epidemiolog, ahli kesehatan masyarakat, perawat kesehatan masyarakat, penanggung jawab program DBD, insan kesehatan, mempunyai tanggung jawab mencegah penyebaran suatu penyakit potensial wabah.

Kita berpikir panjang ke depan, apa yang akan terjadi nanti dengan kekebalan nyamuk terhadap insektisida, mutasi genetik yang mengakibatkan fenomena transovarial, sampai-sampai virus sudah bisa diturunkan oleh induk nyamuk ke telurnya. 

Ada sisi buruk fogging lainnya, itu adalah insektisida yang bagaimanapun, merupakan racun bagi lingkungan, saluran pernapasan manusia, makanan, dan hewan peliharaan. 

Pengendalian vektor diatur dalam permenkes nomor 374 tahun 2010. Pengendalian vektor bertujuan untuk mencegah/ membatasi terjadinya penularan penyakit tular vektor di suatu wilayah sehingga penyakit tersebut dapat dicegah dan dikendalikan. Fogging hanyalah salah satu dari tindakan pengendalian vektor. Tindakan vektor lain adalah seperti Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan 3M (Menguras, Menutup, Mendaur ulang barang bekas), abatisasi, melakukan tindakan-tindakan mengurangi populasi nyamuk seperti mengurangi pakaian yang bergelantung, memberi udara dan cahaya yang cukup dalam ruangan, memakai kelambu, menggunakan repelent nyamuk, memelihara ikan, ovitrap, larvitrap, dsb.


  


  
Pengendalian vektor dengan cara fogging sendiri diatur dalam buku Pedoman Penanggulangan DBD, Kementerian RI tahun 2015. Intinya, fogging hanya sebuah pilihan akhir untuk memutus mata rantai penularan kasus yang telah terbukti dalam hasil penyelidikan epidemiologi. Itupun dengan kriteria diagnosa infeksi dengue yang bisa dipertanggungjawabkan secara klinis, maupun konfirmasi hasil laboratoriumnya.

Jika tidak ada bukti penularan kasus infeksi Dengue, maka fogging dilarang dilakukan, karena mencegah dampak buruk fogging lebih penting.  











Monday, February 18, 2019

Area Epidemiologis kasus DBD

Perlu kita perhatikan dalam tatalaksana DBD di lapangan, area yang bermakna secara epidemiologis pada kasus DBD. Jika terjadi kasus infeksi Dengue, baik DD/DBD, maka kewajiban petugas Puskesmas untuk melakukan PE (penyelidikan Epidemiologi). PE ditujukan untuk verifikasi rumor, mencari faktor resiko penyebab penyakit dan mencari kemungkinan adanya penyebaran penyakit di lapangan. Seberapa luaskah area petugas untuk melakukan PE? 



Menurut Buku Pedoman Penanggulangan DBD Kemenkes RI tahun 2015, area PE dilaksanakan seluas radius 100 m dari kasus utama (index case). Jika terdapat kasus tambahan di luar radius 100 m ini maka dianggap tidak berhubungan secara epidemiologis dengan kasus utama. Namun seiring meluasnya rantai penularan, maka setiap kasus tambahannya memiliki area epidemiologis berupa radius 100 m dari rumahnya. 

Misalnya, ada 4 rentetan kasus Dengue yang terjadi di setiap minggunya dalam suatu bulan. Masing-masing kasus memiliki hubungan epidemiologis secara tempat dan waktu dengan kasus berikutnya. Kasus ke-1 memiliki hubungan epidemiologis secara langsung dengan kasus ke-2. Kasus ke-2 memiliki hubungan epidemiologis secara langsung dengan kasus ke-3. Kasus ke-3 memiliki hubungan epidemiologis secara langsung dengan kasus ke-4. Namun kasus ke-1 tidak memiliki hubungan epidemiologi secara langsung (jarak tempat dan waktu) dengan kasus ke-3. Demikian pula kasus ke-2 juga tidak memiliki hubungan epidemiologis secara langsung dengan kasus ke-4.

Kondisi demikian bisa disebut semua kasus tersebut memiliki hubungan epidemiologis secara tidak langsung. Semuanya tetap disebut satu kluster, satu rangkaian penularan, satu serangan. Baik kasus pertama, maupun kasus terakhir, semuanya memiliki potensi untuk menyebar di masing-masing area epidemiologisnya. Maka jika di lapangan terdapat beberapa rentetan kasus demikian, masing-masing kasus harus dilakukan PE dengan radius 100 m dari rumahnya.

Area yang menjadi tata laksana kasus di lapangan adalah kasus terakhir. Kasus pertama, jika tidak ada tambahan kasus, itu diartikan sudah terjadi pemutusan rantai penularan secara alamiah. Yang perlu ditindaklanjuti agar penularan berhenti adalah kasus yang sekarang sedang aktif atau kasus terakhir. Jika misalnya sebuah kasus Dengue menular menyebar ke arah kanan dan kiri rumahnya, terus berderet menular hingga saling menjauh dan berjarak lebih dari 300 m antara kasus di ujung kanan dan kirinya, maka tata laksana kasus di lakukan di ujung kanan dan kiri kasus terakhir, dengan masing-masing radius 200 m dari rumahnya. 

Tata laksana kasus Dengue di lapangan ada 4, yakni:
1. Penyuluhan
2. Abatisasi
3. Pemberantasan Sarang Nyamuk
4. Fogging

Area epidemiologis ditentukan karena mempertimbangkan rantai penularan penyakit, yaitu lokasi penderita dan jarak terbang nyamuk penyebab DBD. Area ini tidak melihat batas administrasi seperti batas RT/RW/desa, bahkan batas kecamatan atau kabupaten, karena nyamuk dapat terbang tanpa melihat batas-batas itu.

Petugas di lapangan harus mengawal pelaksanaan tatalaksana kasus di lapangan, seperti area untuk pelaksanaan fogging, jika memenuhi kriteria. Tujuannya adalah untuk memastikan tata laksana kasus di lapangan dilakukan pada area epidemiologis yang beresiko dan dapat efektif menghentikan rantai penularan.