Audio Bumper

Thursday, March 19, 2020

Perawatan Luka Kusta

Cacat tingkat II penderita kusta adalah cacat yang terlihat, ada perubahan bentuk. Salah satunya adalah luka pada telapak tangan atau kaki. Luka kusta biasanya terjadi karena mati rasa. Kerusakan saraf perifer yang mengakibatkan penderita tidak mawas diri untuk melindunginya. Seringkali dia tidak sadar adanya luka saat terjadi trauma. Tak hanya itu, memang kerusakan saraf perifer juga membuat jaringan kulit menjadi rapuh, tak sekuat dulu sehingga mudah terluka.


Namun sebenarnya, luka kusta mudah sembuh. Perawatan luka kusta yang direkomendasikan oleh Kementerian Kesehatan RI bersifat bisa dilakukan secara mandiri, untuk menjaga kebersihan, mencegah kontaminasi/ kolonisasi/ infeksi dari bakteri, dan luka akan sembuh dengan dibantu dengan memberinya sedikit kelembapan. Cara merawat luka kusta juga diajarkan dalam Kelompok Perawatan Diri (KPD) penderita kusta. 

Untuk mencegah terjadinya luka atau mencegah luka memburuk peradangannya, maka perlu mengurangi rangsangan mekanik. Seperti tekanan, gesekan, sentuhan, dan aktivitas pada area luka kaki. Istirahatkan kaki, jangan berdiri/ berjalan terlalu lama. Penderita dapat memakai tongkat pada sisi kaki yang sehat. Jika sedang menunggu, lebih baik duduk, jangan jongkok. Mengurangi tekanan dan gesekan juga bisa dengan selalu menggunakan alas kaki. 

Rendam kaki 2 kali sehari dengan air bersih (tidak panas), selama 30 menit. Lakukan pembersihan luka (dicuci) secara manual. Gosok kapalan dengan batu apung, pelan-pelan. Kapalan akan terus timbul karena rusaknya jaringan saraf perifer yang bersifat sudah permanen. Kapalan juga akan tumbuh subur jika kaki terlalu kering, kurang lembap. Kapalan yang dibiarkan menebal akan menimbulkan luka di dasarnya. Maka wajib untuk mengikisnya selalu.

Lalu, olesi telapak kaki dan luka dengan menggunakan minyak kepala yang bersih untuk melembapkan kulit, agar terjaga elastisitas dan integritasnya. Luka yang lembap juga menurunkan tingkat infeksi sebanyak 7% dibandingkan luka yang kering. Jika ada benda asing, tanda infeksi, berbau atau ada kapalan yang butuh tindakan surgical debridement (pembuangan jaringan mati menggunakan  alat tajam secara medis), hubungi tenaga kesehatan (Puskesmas). Setelah kaki diolesi, balutlah luka dengan kain bersih /kassa supaya tidak kotor.

Dengan perawatan luka yang benar, luka kusta bisa segera sembuh sehingga tidak perlu dirujuk ke pelayanan spesialistik. Tindakan-tindakan pencegahan sebelum terjadi luka, sama pentingnya. Menumbuhkan KPD-KPD tidak hanya memonitor resiko terjadinya reaksi, namun juga mengedukasi pencegahan cacat dan luka.  

Wednesday, March 18, 2020

LARVITRAP, SOLUSI MENGURANGI POPULASI NYAMUK PENULAR DBD



Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus Dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes Aegypti dan dapat juga ditularkan oleh Aedes Albopictus, yang ditandai dengan demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus selama 2-7 hari, disertai manifestasi perdarahan. Termasuk uji Tourniquet positif, trombositopeni (jumlah trombosit ≤ 100.000/µl), hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit ≥ 20%), disertai dengan atau tanpa perbesaran hati. (Depkes RI, 2005) (9)

Jumlah kasus DBD di Indonesia menempati urutan pertama setiap tahunnya dengan kasus tertinggi di Asia Tenggara.(5) Situasi kasus DBD di Kabupaten Tegal pada tahun 2019 terjadi kenaikan yang signifikan dibandingkan tahun 2018. Jumlah kasus DBD tahun 2019 ada 370 kasus, dengan kematian 3 anak, sedangkan jumlah kasus DBD tahun 2018 berjumlah 77 kasus dengan kematian 1 anak. Jumlah desa endemis DBD kini sebanyak 21 desa atau 7% dari seluruh desa  di Kabupaten Tegal. (Dinas Kesehatan Kabupaten Tegal, 2019)

Terdapat 3 faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus Dengue, yaitu manusia, virus, dan vektor perantara. Virus ini ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes spp.(5) “Spp.” adalah istilah dalam Entomologi (ilmu yang mempelajari serangga) yang maksudnya nyamuk Aedes tersebut belum diidentifikasi spesifik spesiesnya, apakah itu spesies AegyptiAlbopictus, Vexan atau lainnya.

Nyamuk Aedes Aegypti tersebar luas di rumah-rumah, sekolah dan tempat-tempat umum lainnya seperti tempat ibadah, restoran, kantor, dan balai desa sehingga setiap keluarga dan masyarakat beresiko tertular penyakit DBD.(9)  Resiko penularan adalah banyaknya tempat-tempat perindukan nyamuk Aedes AegeptyKepadatan vektor di Indonesia (indeks premis/HI) diperkirakan 20% atau 5% di atas nilai ambang risiko penularan. (1) Tempat istirahat yang disukai nyamuk Aedes spp. adalah benda-benda yang tergantung di dalam rumah seperti gorden, kelambu dan pakaian di kamar yang gelap dan lembab.(3)

Kementerian Kesehatan RI merekomendasikan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan 3M plus secara terus menerus dan berkesinambungan. Menguras (bak mandi), Menutup rapat (tempat penampungan air) dan Mendaur ulang (barang bekas yang berpotensi menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk). Ditambah lagi tindakan lain untuk mengurangi tempat perindukan nyamuk dan mencegah gigitan nyamuk. Seperti mengganti air vas bunga, tempat minum burung seminggu sekali, memperbaiki saliran air yang tidak lancar, menutup lobang pada potongan bambu dengan tanah, menabur larvasida, memelihara ikan pemakan jentik, menggunakan kelambu atau menggunakan kawat kasa, menghindari kebiasaan menggantung pakaian dalam kamar, menggunakan obat anti nyamuk, menanam tumbuhan pengusir nyamuk, menggunakan perangkap telur/larva/nyamuk.(4)(6)

Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992 tentang kesehatan, pasal 22 ayat 2 yang berbunyi “Pengendalian vektor penyakit merupakan tindakan pengendalian untuk mengurangi atau melenyapkan gangguan yang ditimbulkan oleh binatang pembawa penyakit seperti serangga (nyamuk) dan binatang pengerat.”

Pengendalian nyamuk Aedes Aegypti dapat dilakukan secara fisika, kimiawi (insektisida) dan modifikasi lingkungan (Soegijanto, 2014).(9) Menurut Djojosumarto (2008) menyatakan bahwa selama ini teknik pengendalian larva nyamuk Aedes Aegypti dilakukan secara kimiawi (menggunakan insektisida).(9) Hal ini dapat berdampak buruk terhadap lingkungan maupun kesehatan sebagai akibat dari pajanan pestisida.

Program pengendalian Aedes spp di berbagai negara termasuk Indonesia pada umumnya kurang berhasil, karena hampir sepenuhnya bergantung pada pengasapan (fogging) untuk membunuh nyamuk dewasa. Hal ini membutuhkan biaya besar (5 milyar per tahun),menimbulkan resistensi vektor akibat dosis yang tidak tepat, dan tidak berdampak panjang(9)

Saat ini telah banyak dikembangkan metode pengendalian vektor DBD yang lebih aman, yaitu melalui pemutusan siklus hidup nyamuk Aedes Aegypti pra dewasa (telur dan jentik/larva) menggunakan Larvitrap. Larvitrap (larva: jentik nyamuk, trap: perangkap) adalah wadah yang dapat menampung air dengan penambahan kain strimin. Prinsip kerja alat ini adalah sebagai perangkap larva dengan membuat breeding places Aedes spp untuk bertelur. Telur yang diletakkan oleh nyamuk di dinding larvitrap saat menetas dan menjadi larva tidak mampu keluar dari wadah tersebut. Telah diketahui bahwa tahap pra dewasa (telur dan jentik/larva) merupakan titik kritis pengendalian nyamuk Aedes spp. Pembuatan larvitrap dapat menggunakan bahan-bahan bekas yang mudah ditemukan di lingkungan sekitar seperti ember, pot bunga , gerabah dan plastik bekas.(7)

Pada tahun 2015, Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan Jakarta telah mencoba melakukan pengembangan teknologi tepat guna untuk pengendalian vektor (perangkap telur dan larva nyamuk Aedes spp) yang lebih sederhana yang dikenal dengan nama teknologi tepat guna (TTG) LarvitrapHasil uji menunjukkan bahwa dari pengambilan 554 sampel larvitrap, memiliki preferensi 72,0% menjadi habitat berkembang biaknya nyamuk Aedes spp.(9) Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan oleh Roeberji, dkk (2017) hasil uji preferensi menunjukkan bahwa 72,0% Larvitrap berhasil menjebak jentik nyamuk Aedes spp.

Gambar 1. Bentuk Larvitrap sederhana

Larvitrap menggunakan semacam atraktan untuk menarik perhatian nyamuk untuk bertelur di dalamnya. Atraktan adalah sesuatu yang memiliki daya tarik atau dapat mengundang serangga (nyamuk) untuk menghampiri baik secara kimiawi maupun visual (fisik). Atraktan dari bahan kimia dapat berupa senyawa amonia, CO2, asam laktat, actenol dan asam lemak.(1) Salah satu atraktan yang mudah didapat dan efektif digunakan bersama Larvitrap adalah air rendaman jerami.
Pada air rendaman jerami terjadi proses fermentasi secara anaerob. Hasil fermentasi rendaman jerami biasanya berwarna kuning keruh dan beraroma menyengat. Bau menyengat dari air rendaman jerami adalah hasil fermentasi berupa CO2 dan amoniak. Senyawa ini tebukti dapat mempengaruhi saraf penciuman dan mempengaruhi nyamuk Aedes spp. dalam memilih container sebagai tempat bertelur.(1)

Hasil penelitian ini sejalan dengan yang telah dilakukan oleh Lelono tahun 2010 yang mendapatkan bahwa air jerami lebih banyak dijumpai telur Aedes spp dari pada media yang lainnya. Pada penelitian ini ovitrap (perangkap telur nyamuk) yang berisi rendaman jerami memperlihatkan indeks Ovitrap 61,7% dengan jumlah telur 1.758 butir, sedangkan penelitian Lelono tahun 2010 mendapatkan jumlah telur sebanyak 420 butir. Jumlah tersebut merupakan perolehan telur paling banyak daripada media lain (air aquades, air kelapa, air hujan, air kolam, air sumur, air mineral) yang digunakan oleh Lelono dalam penelitiannya.(2) Perkembangan telur menjadi larva nyamuk membutuhkan waktu 1-2 hari. Larva Aedes spp. selanjutnya akan mengalami perkembangan menjadi pupa dalam waktu 4-9 hari.(1)

Dalam hal atraktan fisik seperti warna, penelitian Tien Zubaidah, dkk (2017) Ovitrap dengan warna hitam menghasilkan jumlah telur terbanyak (2253 butir telur) dan Ovitrap tanpa warna menghasilkan jumlah telur paling sedikit (1069 butir telur). Perindukan nyamuak Aedes sp yang paling disenangi yaitu yang berwarna gelap, kebiasaan istirahat nyamuk Aedes sp lebih banya pada benda-benda yang berwarna gelap dan tempat-tempat yang terlindung.(8)

Dinas Kesehatan Kabupaten Tegal sendiri telah melakukan uji coba penggunaan Larvitrap pada tiga desa endemis, yakni Desa Pesarean kecamatan Adiwerna, Desa Yamansari Kecamatan Lebaksiu, dan Desa Kebandingan Kecamatan Kedungbanteng pada bulan Oktober-Desember 2019. Dengan menempatkan 2 buah Larvitrap di masing-masing rumah, yakni di dalam dan di luar rumah. Dari sejumlah total 730 rumah yang di uji coba, diperoleh hasil sebagai berikut:


 
Tabel 1. Hasil uji coba Larvitrap di 3 desa endemis di Kabupaten Tegal

Diperoleh hasil bahwa Larvitrap yang diletakkan di dalam rumah efektif menjadi tempat perindukan nyamuk sebesar 33,7% dan Larvitrap yang dipasang  di luar rumah yang efektif menjadi tempat perindukan nyamuk sebesar 28,8%.

Larvitrap yang diujicobakan tersebut terbuat dari toples kue, yang diberi lubang pada tutupnya. Lalu pada lubang tersebut diberi sebuah pipa yang telah di cat warna hitam pada bagian sisi lingkarannya. Ujung bawah pipa tersebut telah diikatkan sebuah kain strimin yang menggunakan cable ties. Tiga helai daun jerami direndam air secukupnya hingga melebihi tingginya kain strimin.

Larvitrap tersebut dimonitor dua minggu sekali oleh kader kesehatan desa dan dicatat hasilnya. Lalu jentik nyamuk yang terperangkap langsung dibuang ke tanah dan mati jika terkena sinar matahari. Atau jika sudah menjadi nyamuk, dibunuh terlebih dahulu dengan menyiramkan air panas ke dalam larvitrap.


 Gambar 2. Jentik nyamuk yang terperangkap di dalam Larvitrap yang berisi air rendaman jerami


Gambar 3. Nyamuk Aedes spp. yang terperangkap Larvitrap.

Dengan pemasangan Larvitrap ini dapat mengurangi tempat perindukan nyamuk di tempat lain yang tidak terkontrol. Sehingga dengan berkurangnya populasi nyamuk penular DBD ini akan mengurangi pula jumlah kasus DBD di masyarakat.

Hasil uji coba  ini diharapkan dapat menjadi suatu alternatif pengendalian vektor khususnya untuk pengendalian nyamuk Aedes Aegypti atau Albopictus sebagai solusi murah, sederhana dan aman bagi lingkungan dan manusia. Bagi instansi terkait harap bisa membantu sosialisasi Larvitrap ini di masyarakat dengan diintegrasikan dengan program-program partisipasi masyarakat.


===========================


Ditulis oleh: Bagus Johan Maulana, SKM
-          Staf Bidang P2P Dinas Kesehatan Kab. Tegal
-          Ka.Bid Litbang Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Kab. Tegal


Referensi:


1.      Saryono. 2008. Pengaruh Modifikasi Ovitrap terhadap Junlah Nyamuk Aedes yang Tertangkap. Tesis: UNDIP Semarang. http://eprints.undip.ac.id/18741/1/sayono.pdf. Diakses tanggal 27 Januari 2019

2.      Lelono A. “Preferensi betina Aedes aegypti (Dipteral: culicide) pada bermacam media oviposisi potensial di lingkungan” dalam Prosiding Seminar Nasional Entomologi V Pemberdayaan Keanekaragaman Serangga untuk Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat. Bogor: Institut Pertanian Bogor; 2010 Mei 20. hlm.417-9

3.      Mardihusodo, Sugeng Juwono. 2009. Pemilihan Tempat Bertelur Nyamuk Aedes Aegypti Pada Air Limbah Rumah Tangga di Laboratorium. 10(4): 205–7

4.      Kementerian Kesehatan RI. 2015. Pedoman Pengendalian Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Jakarta. Katalog 614.49, Ind P

5.      Rahmawati, Ade Putri. 2016. Surveilans Vektor Dan Kasus Demam Berdarah Dengue. Semarang: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah

6.      Kementerian Kesehatan RI. 2017. Petunjuk Teknis Implementasi PSN 3M-Plus Dengan Gerakan 1 Rumah 1 Jumantik. Jakarta

7.      Roeberji. 2017. “Teknologi Tepat Guna Larvitrap Sebagai Alternatif Pengendalian
Aedes Aegypti di Desa Plumbon Pulo, Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat” Jurnal kesehatan lingkungan (10–17)

8.      Tien Zubaidah dkk. 2017. Modifikasi Ovitrap Dalam Meningkatkan Daya Jebak
Telur Nyamuk Aedes sp di Kota Banjarbaru.
 Banjarmasin: Politeknik Kesehatan Kemenkes, 
INA-Rxiv

9.      Yanti, Theresya Sri, H. Sardjito Eko Windarso dan Lucky Herawati. 2019. Efektivitas Ketinggian Kain Strimin Pada Modifikasi Larvitrap Terhadap Daya Jebak Larva Aedes spp di Dusun Plosokuning. Yogyakarya: Prodi Sanitasi Lingkungan Jurusan Kesehatan Lingkungan Politeknik Kesehatan Kemenkes

Fogging Minded

Kenapa banyak orang menginginkan fogging? Karena dalam pikiran mereka, itu adalah solusi yang praktis. Entah untuk mencegah DBD, mengusir atau membunuh nyamuk, atau menanggulangi sebuah ledakan kasus DBD yang sedang terjadi. Salah paham tentang indikasi fogging ini tidak hanya di masyarakat awam, bahkan selevel pejabat daerah pun kadang tidak tahu indikasi fogging yang sebenarnya. 


Hasil gambar untuk fogging minded

Sebagai tenaga kesehatan, kita wajib meluruskan pemahaman di masyarakat. Mungkin persepsi yang keliru tentang fogging ini berawal dari persepsi yang keliru atas tindakan fogging yang pernah mereka lihat. Mereka mengira itu adalah tindakan untuk pencegahan bukan penanggulangan kasus. Kesalahpahaman ini bisa terjadi karena masyarakat tidak diberi tahu maksud dan tujuan adanya fogging saat itu, yakni karena adanya penularan kasus di tetangganya. Dan ini sungguh terjadi, pernah ada permintaan fogging untuk pencegahan kasus DBD (meskipun tidak ada kasus), ke Dinas Kesehatan Kabupaten Tegal di awal musim hujan. 

Salah paham mengenai indikasi fogging juga bisa berupa pemahaman yang keliru bahwa fogging adalah ditujukan untuk mengusir atau membunuh nyamuk. Memang benar, banyak nyamuk akan mati dan terusir. Masyarakat pun bisa merasakannya beberapa saat setelah dilakukan fogging. Namun ada motif dibalik itu, bukan semata-mata untuk mengusir nyamuk saja. Tindakan itu dilakukan karena adanya penularan kasus yang melatarbelakanginya. Ini yang kadang tidak diketahui. Sehingga pernah terjadi juga, seorang kontraktor bangunan meminta Dinas Kesehatan memberikan tindakan fogging pada daerah yang akan dia bangun. Saat itu masih berupa semak-semak dan memang banyak nyamuk.

Hal lain yang membuat masyarakat kerap meminta fogging, adalah karena mereka tidak tahu bahayanya fogging. Mereka tidak tahu bahwa ada efek buruk dari insektisida dalam asap tersebut. Yang sejatinya adalah toksik (racun) bagi saluran pernapasan manusia, binatang ternak, dan lingkungan. Mereka jarang memikirkan hal itu.

Terlebih lagi efek buruk jangka panjang, seperti resiko terjadinya kekebalan nyamuk terhadap insektisida. Hal itu nyata-nyata terjadi karena efek fogging. Ada juga fenomena trans-ovarial, dimana mutasi genetik terjadi dalam siklus kembang biak nyamuk, sehingga telur baru sudah mengandung virus dengue di dalamnya. Hal ini merekomendasikan kita untuk lebih dini melakukan PSN sebagai pencegahan, terlambat jika hanya mengandalkan fogging untuk pengendalian.

Sungguh banyak masyarakat yang belum mengerti sampai sejauh itu. Kebanyakan dari mereka berpikir jangka pendek: fogging, nyamuk hilang, masalah selesai.

Satu hal lagi yang mendasari mengapa permintaan fogging begitu banyak di masyarakat, adalah karena mereka melihat contoh di daerah lain, bisa melakukannya, tanpa syarat adanya penularan kasus yang sedang terjadi. Hal-hal yang sedemikian seharusnya dihindari oleh tenaga kesehatan dalam memberikan rekomendasi tindakan fogging. Integritas kita dipertaruhkan dalam menjaga kesehatan lingkungan dan masyarakat. Sekali kita mengijinkan dilakukannya fogging tanpa syarat keilmuan epidemiologi yang mendasarinya, maka hal itu menjadi contoh buruk. Akan semakin banyak masyarakat meminta fogging tanpa syarat. 

Kadang pula terjadi, fogging dilakukan "tanpa permisi". Dilakukan oleh pihak ketiga, entah penyedia jasa pengendalian vektor, swadaya, atau oleh sebuah organisasi. Mereka membeli alat fogging dan insektisida sendiri dan membayar tenaga pelaksana sendiri. 

Memang, alat fogging dan insektisida bisa dibeli dengan bebas. Internet menyediakan banyak info tentang hal itu. Namun kita punya Permenkes nomor 374 tahun 2010 yang mengatur bagaimana pengendalian vektor seharusnya dilakukan. Fogging memang bisa dilakukan pihak swasta, tentunya harus memiliki ijin operasional dari Dinkes. Dan fogging tersebut hanya dilakukan atas dasar hasil kajian surveilans epidemiologi tentang penyebaran penyakit tular vektor. Penyelenggara pengendalian vektor swasta yang menggunakan bahan kimia itu pun harus mempunyai tenaga entomolog dan tenaga kesehatan lingkungan yang terlatih, serta wajib melaporkan kegiatannya ke Dinas Kesehatan. Artinya, rekomendasi untuk dilakukan fogging atau tidak, tetap diberikan oleh Dinas Kesehatan. Dan kita punya aturan untuk itu.

Tuesday, March 17, 2020

Pentingnya PSN sebelum Fogging

Hasil gambar untuk fogging DBD

Dalam sebuah kejadian transmisi (penularan) kasus DBD yang membutuhkan fogging (pengasapan), mengapa masyarakat harus dikerahkan melakukan PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk) sebelum dilakukan fogging? Karena tujuan utama fogging adalah memutus mata rantai penularan DBD. Dalam hal ini, sasaran fogging adalah nyamuk yang ada di area penularan kasus. Fogging tidak membunuh jentik nyamuk. Meskipun fogging dilakukan sebanyak 2 kali dalam rentang satu minggu. Pengasapan putaran kedua itu ditujukan untuk membunuh nyamuk yang mungkin pada minggu sebelumnya dia masih berupa telur. Diperkirakan seminggu setelahnya dia sudah berubah menjadi nyamuk dewasa dan terbang. Pengasapan kedua itu juga bermaksud membunuh nyamuk dewasa yang merupakan pindahan dari daerah lain masuk ke area penderita tersebut.

Namun, bisa jadi saat fogging putaran pertama berlangsung ada bibit nyamuk yang sudah berwujud jentik (larva) atau kempompong (pupa). Sesuai dengan siklus perkembangbiakan nyamuk  Aedes Aedypti, tak butuh waktu seminggu bagi jentik/ kempompong untuk berubah menjadi nyamuk dewasa. Itulah mengapa perlu dilakukan PSN sebelum fogging. Fogging yang dilakukan tanpa PSN hanya akan memutus mata rantai transmisi di tahap nyamuk dewasa saja, sementara lingkungan penderita masih mendukung adanya transmisi penyakit tersebut.   

Hasil gambar untuk siklus nyamuk aedes aegypti hari Gambar terkait

Dan pastinya, meskipun suatu area sudah dilakukan fogging, tak menjamin area tersebut bebas nyamuk untuk selamanya. Maka dari itu, untuk menjaga area tersebut dari penularan kasus, satu-satunya adalah dengan menjaga keberlangsungan PSN melalui 3M plus. Menguras, Menutup, Mendaur Ulang barang bekas, dan (plus) melakukan pencegahan dari gigitan nyamuk seperti memelihara ikan, memakai anti nyamuk, mengurangi gantungan baju, memelihara tanaman pengusir nyamuk, teknologi tepat guna sederhana seperti lartivtrap juga dianjurkan.

Monday, March 16, 2020

Ada nyamuk penular malaria di Kabupaten Tegal


Pada tahun 2018 kasus malaria di Kabupaten Tegal sejumlah 15 kasus terdiri dari 9 kasus Malaria Vivax dan 6 kasus Malaria Falciparum. Pada tahun 2019, kasus Malaria di Kabupaten Tegal ada 8 kasus, terdiri dari 6 kasus Malaria Vivax dan 2 kasus Malaria Falciparum. Semua kasus tersebut adalah kasus import, kebanyakan berasal dari Papua.

Untuk mengetahui bagaimana kondisi vektor Malaria di Kabupaten Tegal, Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan Dan Pengendalian Penyakit (BBTKL& PP) Yogyakarta telah melakukan pemetaan luas wilayah reseptifitas daerah Malaria pada bulan September 2019. Ada dua daerah yang menjadi sampel, yakni dataran tinggi dan dataran rendah. Dataran tinggi diwakili oleh kecamatan Bumijawa, dan dataran rendah diwakili kecamatan Suradadi. Download hasil kajian pemetaan disini

Ada 40 lokasi pengambilan sampel, dari 10 dusun pemeriksaan jentik malaria tersebut. Dan, diperoleh hasil sebagai berikut:

Kec
Desa
Dusun
Habitat
Jumlah Habitat
Hasil
Jenis Nyamuk
GPS
Suradadi
Harjasari
Jatipagak
Selokan/ Parit
5
Negatif

-
S = 06.93773° 
E =109.25639°
SaluranIrigasi
5
Negatif

-
S = 06.93788°
E =109.25693°
SumurResapan
1
Negatif

-
S=06.93790° E=109.25697°
Sawah I
25
Negatif

-
S=06.93704° E=109.25807°
Randu
parit
1
Negatif
-
S=06.93864° E=109.25867°
Sawah
5
Negatif

-
S=06.93864° E=109.25867°
Aliransungai
2
Negatif

-
S=06.93963° E=109.25876°
Karanganyar
Sumur/ Belik
1
Negatif
-
S=06.93942° E=109.25491°
bendunganjembatan
1
Negatif

-
S=06.93950° E=109.25516°
Genangan air sungai
10
Negatif

-
S = 06.93890°  E=109.25532°
Aliransungai
2
Negatif
-
S = 06.93985°  E=109.25495°
Sawah
10
Negatif
-
S=06.93992° E=109.25484°
Sungai
3
Negatif
-
S=06.93997 ° E=109.25533°
Parit Bawah Tol
2
Negatif
-
S=06.93458° E=109.25579°
Jatibogor
Jatimerta
Selokan
5
Negatif
-
S=06.900756° E=109.234184°
Genangan air
2
Negatif
-
S=06.900744°
E=109.234035°
Sungai
5
Negatif
-
S = 06.899480° E=109.234905°
Tampungan air pencetakanbata
1
Negatif
-
S= 06.899480° E=109.234905°
Bakpenampunganuntukpengairansawah
1
Negatif
-
S=06.90003° E=109.234666°
Jatibogor
Persawahan
10
Negatif
-
S = 06.90175°  E=109.23809°
Sungai
5
Negatif
-
S = 06.90175°  E=109.23809°
Bumijawa
Guci
Krajan
BedenganKebunsayur 1
4
Negatif

-
S = 07°11’55.4° 
E =109.09’43.8°
Parit 1
2
Negatif

-
S = 07°11’55.4° 
E =109.09’43.8°
Genangan air
2
Negatif

-
S=07°11’53.8° E=109.09’40.9°
Parit 2
3
Negatif

-
S=07°11’53.8 E=109.09’40.9
Guci
Cekungan genangan sungai
5
PositifAnopheles sp
Anopheles maculatus
S=07°11’591.1° E=109°09’17.1°
Kolam 1
6
Negatif

-
S=07° 11’50.1°
E=109°09’23.0°
Kolam 2
1
Negatif

-
S=07° 11’50.6°
E=109°09’24.0°
Kemaron
Parit 3
3
Negatif
-
S=07° 10’46.1°
E=109°09’10.5°
GalianBedengsayur
29
Negatif

-
S=07° 10’03.7°
E=109°09’00.7°
Jejeg
Krajan
Selokan
5
Negatif
-
S=07° 16684°
E=109°08974°
Sawah
10
Negatif
-
S=07° 166809°
E=109°088963°
Parit
3
Negatif
-
S=07° 162217°
E=109°089187°
Sawah
10
Negatif
-
S=07° 167661°
E=109°089663°
Sawah
10
Negatif
-
S=07° 167661°
E=109°089663°
Kembang
Kolam
3
Negatif
-
S=07° 16836°
E=109°09023°
Sumbermata air
1
Negatif
-
S=07° 168823°
E=109°099706°
Sawah
5
Negatif
-
S=07° 168806°
E=109°08081°
Kolam
3
Negatif
-
S=07° 168700°
E=109°15560°
Sawah
5
Negatif
-
S=07° 167697°
E=109°091777°

Hasil pemetaan tim BBTKL&PP tersebut menunjukan ditemukannya jentik nyamuk Malaria, yakni  jenis Anopheles Maculatus di cekungan genangan sungai desa Guci Kecamatan Bumijawa. Artinya, meskipun selama ini semua kasus Malaria di Kabupaten Tegal adalah kasus import, kita perlu waspada adanya potensial penularan kasus, karena ada vektor penular penyakitnya disini.