Audio Bumper

Wednesday, March 18, 2020

LARVITRAP, SOLUSI MENGURANGI POPULASI NYAMUK PENULAR DBD



Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus Dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes Aegypti dan dapat juga ditularkan oleh Aedes Albopictus, yang ditandai dengan demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus selama 2-7 hari, disertai manifestasi perdarahan. Termasuk uji Tourniquet positif, trombositopeni (jumlah trombosit ≤ 100.000/µl), hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit ≥ 20%), disertai dengan atau tanpa perbesaran hati. (Depkes RI, 2005) (9)

Jumlah kasus DBD di Indonesia menempati urutan pertama setiap tahunnya dengan kasus tertinggi di Asia Tenggara.(5) Situasi kasus DBD di Kabupaten Tegal pada tahun 2019 terjadi kenaikan yang signifikan dibandingkan tahun 2018. Jumlah kasus DBD tahun 2019 ada 370 kasus, dengan kematian 3 anak, sedangkan jumlah kasus DBD tahun 2018 berjumlah 77 kasus dengan kematian 1 anak. Jumlah desa endemis DBD kini sebanyak 21 desa atau 7% dari seluruh desa  di Kabupaten Tegal. (Dinas Kesehatan Kabupaten Tegal, 2019)

Terdapat 3 faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus Dengue, yaitu manusia, virus, dan vektor perantara. Virus ini ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes spp.(5) “Spp.” adalah istilah dalam Entomologi (ilmu yang mempelajari serangga) yang maksudnya nyamuk Aedes tersebut belum diidentifikasi spesifik spesiesnya, apakah itu spesies AegyptiAlbopictus, Vexan atau lainnya.

Nyamuk Aedes Aegypti tersebar luas di rumah-rumah, sekolah dan tempat-tempat umum lainnya seperti tempat ibadah, restoran, kantor, dan balai desa sehingga setiap keluarga dan masyarakat beresiko tertular penyakit DBD.(9)  Resiko penularan adalah banyaknya tempat-tempat perindukan nyamuk Aedes AegeptyKepadatan vektor di Indonesia (indeks premis/HI) diperkirakan 20% atau 5% di atas nilai ambang risiko penularan. (1) Tempat istirahat yang disukai nyamuk Aedes spp. adalah benda-benda yang tergantung di dalam rumah seperti gorden, kelambu dan pakaian di kamar yang gelap dan lembab.(3)

Kementerian Kesehatan RI merekomendasikan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan 3M plus secara terus menerus dan berkesinambungan. Menguras (bak mandi), Menutup rapat (tempat penampungan air) dan Mendaur ulang (barang bekas yang berpotensi menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk). Ditambah lagi tindakan lain untuk mengurangi tempat perindukan nyamuk dan mencegah gigitan nyamuk. Seperti mengganti air vas bunga, tempat minum burung seminggu sekali, memperbaiki saliran air yang tidak lancar, menutup lobang pada potongan bambu dengan tanah, menabur larvasida, memelihara ikan pemakan jentik, menggunakan kelambu atau menggunakan kawat kasa, menghindari kebiasaan menggantung pakaian dalam kamar, menggunakan obat anti nyamuk, menanam tumbuhan pengusir nyamuk, menggunakan perangkap telur/larva/nyamuk.(4)(6)

Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992 tentang kesehatan, pasal 22 ayat 2 yang berbunyi “Pengendalian vektor penyakit merupakan tindakan pengendalian untuk mengurangi atau melenyapkan gangguan yang ditimbulkan oleh binatang pembawa penyakit seperti serangga (nyamuk) dan binatang pengerat.”

Pengendalian nyamuk Aedes Aegypti dapat dilakukan secara fisika, kimiawi (insektisida) dan modifikasi lingkungan (Soegijanto, 2014).(9) Menurut Djojosumarto (2008) menyatakan bahwa selama ini teknik pengendalian larva nyamuk Aedes Aegypti dilakukan secara kimiawi (menggunakan insektisida).(9) Hal ini dapat berdampak buruk terhadap lingkungan maupun kesehatan sebagai akibat dari pajanan pestisida.

Program pengendalian Aedes spp di berbagai negara termasuk Indonesia pada umumnya kurang berhasil, karena hampir sepenuhnya bergantung pada pengasapan (fogging) untuk membunuh nyamuk dewasa. Hal ini membutuhkan biaya besar (5 milyar per tahun),menimbulkan resistensi vektor akibat dosis yang tidak tepat, dan tidak berdampak panjang(9)

Saat ini telah banyak dikembangkan metode pengendalian vektor DBD yang lebih aman, yaitu melalui pemutusan siklus hidup nyamuk Aedes Aegypti pra dewasa (telur dan jentik/larva) menggunakan Larvitrap. Larvitrap (larva: jentik nyamuk, trap: perangkap) adalah wadah yang dapat menampung air dengan penambahan kain strimin. Prinsip kerja alat ini adalah sebagai perangkap larva dengan membuat breeding places Aedes spp untuk bertelur. Telur yang diletakkan oleh nyamuk di dinding larvitrap saat menetas dan menjadi larva tidak mampu keluar dari wadah tersebut. Telah diketahui bahwa tahap pra dewasa (telur dan jentik/larva) merupakan titik kritis pengendalian nyamuk Aedes spp. Pembuatan larvitrap dapat menggunakan bahan-bahan bekas yang mudah ditemukan di lingkungan sekitar seperti ember, pot bunga , gerabah dan plastik bekas.(7)

Pada tahun 2015, Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan Jakarta telah mencoba melakukan pengembangan teknologi tepat guna untuk pengendalian vektor (perangkap telur dan larva nyamuk Aedes spp) yang lebih sederhana yang dikenal dengan nama teknologi tepat guna (TTG) LarvitrapHasil uji menunjukkan bahwa dari pengambilan 554 sampel larvitrap, memiliki preferensi 72,0% menjadi habitat berkembang biaknya nyamuk Aedes spp.(9) Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan oleh Roeberji, dkk (2017) hasil uji preferensi menunjukkan bahwa 72,0% Larvitrap berhasil menjebak jentik nyamuk Aedes spp.

Gambar 1. Bentuk Larvitrap sederhana

Larvitrap menggunakan semacam atraktan untuk menarik perhatian nyamuk untuk bertelur di dalamnya. Atraktan adalah sesuatu yang memiliki daya tarik atau dapat mengundang serangga (nyamuk) untuk menghampiri baik secara kimiawi maupun visual (fisik). Atraktan dari bahan kimia dapat berupa senyawa amonia, CO2, asam laktat, actenol dan asam lemak.(1) Salah satu atraktan yang mudah didapat dan efektif digunakan bersama Larvitrap adalah air rendaman jerami.
Pada air rendaman jerami terjadi proses fermentasi secara anaerob. Hasil fermentasi rendaman jerami biasanya berwarna kuning keruh dan beraroma menyengat. Bau menyengat dari air rendaman jerami adalah hasil fermentasi berupa CO2 dan amoniak. Senyawa ini tebukti dapat mempengaruhi saraf penciuman dan mempengaruhi nyamuk Aedes spp. dalam memilih container sebagai tempat bertelur.(1)

Hasil penelitian ini sejalan dengan yang telah dilakukan oleh Lelono tahun 2010 yang mendapatkan bahwa air jerami lebih banyak dijumpai telur Aedes spp dari pada media yang lainnya. Pada penelitian ini ovitrap (perangkap telur nyamuk) yang berisi rendaman jerami memperlihatkan indeks Ovitrap 61,7% dengan jumlah telur 1.758 butir, sedangkan penelitian Lelono tahun 2010 mendapatkan jumlah telur sebanyak 420 butir. Jumlah tersebut merupakan perolehan telur paling banyak daripada media lain (air aquades, air kelapa, air hujan, air kolam, air sumur, air mineral) yang digunakan oleh Lelono dalam penelitiannya.(2) Perkembangan telur menjadi larva nyamuk membutuhkan waktu 1-2 hari. Larva Aedes spp. selanjutnya akan mengalami perkembangan menjadi pupa dalam waktu 4-9 hari.(1)

Dalam hal atraktan fisik seperti warna, penelitian Tien Zubaidah, dkk (2017) Ovitrap dengan warna hitam menghasilkan jumlah telur terbanyak (2253 butir telur) dan Ovitrap tanpa warna menghasilkan jumlah telur paling sedikit (1069 butir telur). Perindukan nyamuak Aedes sp yang paling disenangi yaitu yang berwarna gelap, kebiasaan istirahat nyamuk Aedes sp lebih banya pada benda-benda yang berwarna gelap dan tempat-tempat yang terlindung.(8)

Dinas Kesehatan Kabupaten Tegal sendiri telah melakukan uji coba penggunaan Larvitrap pada tiga desa endemis, yakni Desa Pesarean kecamatan Adiwerna, Desa Yamansari Kecamatan Lebaksiu, dan Desa Kebandingan Kecamatan Kedungbanteng pada bulan Oktober-Desember 2019. Dengan menempatkan 2 buah Larvitrap di masing-masing rumah, yakni di dalam dan di luar rumah. Dari sejumlah total 730 rumah yang di uji coba, diperoleh hasil sebagai berikut:


 
Tabel 1. Hasil uji coba Larvitrap di 3 desa endemis di Kabupaten Tegal

Diperoleh hasil bahwa Larvitrap yang diletakkan di dalam rumah efektif menjadi tempat perindukan nyamuk sebesar 33,7% dan Larvitrap yang dipasang  di luar rumah yang efektif menjadi tempat perindukan nyamuk sebesar 28,8%.

Larvitrap yang diujicobakan tersebut terbuat dari toples kue, yang diberi lubang pada tutupnya. Lalu pada lubang tersebut diberi sebuah pipa yang telah di cat warna hitam pada bagian sisi lingkarannya. Ujung bawah pipa tersebut telah diikatkan sebuah kain strimin yang menggunakan cable ties. Tiga helai daun jerami direndam air secukupnya hingga melebihi tingginya kain strimin.

Larvitrap tersebut dimonitor dua minggu sekali oleh kader kesehatan desa dan dicatat hasilnya. Lalu jentik nyamuk yang terperangkap langsung dibuang ke tanah dan mati jika terkena sinar matahari. Atau jika sudah menjadi nyamuk, dibunuh terlebih dahulu dengan menyiramkan air panas ke dalam larvitrap.


 Gambar 2. Jentik nyamuk yang terperangkap di dalam Larvitrap yang berisi air rendaman jerami


Gambar 3. Nyamuk Aedes spp. yang terperangkap Larvitrap.

Dengan pemasangan Larvitrap ini dapat mengurangi tempat perindukan nyamuk di tempat lain yang tidak terkontrol. Sehingga dengan berkurangnya populasi nyamuk penular DBD ini akan mengurangi pula jumlah kasus DBD di masyarakat.

Hasil uji coba  ini diharapkan dapat menjadi suatu alternatif pengendalian vektor khususnya untuk pengendalian nyamuk Aedes Aegypti atau Albopictus sebagai solusi murah, sederhana dan aman bagi lingkungan dan manusia. Bagi instansi terkait harap bisa membantu sosialisasi Larvitrap ini di masyarakat dengan diintegrasikan dengan program-program partisipasi masyarakat.


===========================


Ditulis oleh: Bagus Johan Maulana, SKM
-          Staf Bidang P2P Dinas Kesehatan Kab. Tegal
-          Ka.Bid Litbang Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Kab. Tegal


Referensi:


1.      Saryono. 2008. Pengaruh Modifikasi Ovitrap terhadap Junlah Nyamuk Aedes yang Tertangkap. Tesis: UNDIP Semarang. http://eprints.undip.ac.id/18741/1/sayono.pdf. Diakses tanggal 27 Januari 2019

2.      Lelono A. “Preferensi betina Aedes aegypti (Dipteral: culicide) pada bermacam media oviposisi potensial di lingkungan” dalam Prosiding Seminar Nasional Entomologi V Pemberdayaan Keanekaragaman Serangga untuk Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat. Bogor: Institut Pertanian Bogor; 2010 Mei 20. hlm.417-9

3.      Mardihusodo, Sugeng Juwono. 2009. Pemilihan Tempat Bertelur Nyamuk Aedes Aegypti Pada Air Limbah Rumah Tangga di Laboratorium. 10(4): 205–7

4.      Kementerian Kesehatan RI. 2015. Pedoman Pengendalian Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Jakarta. Katalog 614.49, Ind P

5.      Rahmawati, Ade Putri. 2016. Surveilans Vektor Dan Kasus Demam Berdarah Dengue. Semarang: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah

6.      Kementerian Kesehatan RI. 2017. Petunjuk Teknis Implementasi PSN 3M-Plus Dengan Gerakan 1 Rumah 1 Jumantik. Jakarta

7.      Roeberji. 2017. “Teknologi Tepat Guna Larvitrap Sebagai Alternatif Pengendalian
Aedes Aegypti di Desa Plumbon Pulo, Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat” Jurnal kesehatan lingkungan (10–17)

8.      Tien Zubaidah dkk. 2017. Modifikasi Ovitrap Dalam Meningkatkan Daya Jebak
Telur Nyamuk Aedes sp di Kota Banjarbaru.
 Banjarmasin: Politeknik Kesehatan Kemenkes, 
INA-Rxiv

9.      Yanti, Theresya Sri, H. Sardjito Eko Windarso dan Lucky Herawati. 2019. Efektivitas Ketinggian Kain Strimin Pada Modifikasi Larvitrap Terhadap Daya Jebak Larva Aedes spp di Dusun Plosokuning. Yogyakarya: Prodi Sanitasi Lingkungan Jurusan Kesehatan Lingkungan Politeknik Kesehatan Kemenkes

No comments:

Post a Comment