1. Latar belakang
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 581/MENKES/SK/VII/1992 tentang pemberantasan penyakit Demam Berdarah Dengue, tata laksana DBD di lapangan ada 4 macam kegiatan, yakni penyuluhan kesehatan, pemberantasan sarang nyamuk, pemberian larvasida, dan pengasapan (fogging). Prosedur pengasapan DBD mengalami perubahan. Dirjen P2P Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2017 menerbitkan buku pedoman pencegahan dan penanggulangan DBD di Indonesia. Diharapkan buku ini akan menjadi acuan pelaksanaan penanggulangan DBD di lapangan, khususnya dalam hal pengasapan DBD, mengingat pelaksanaan pengasapan menjadi isu penting yang menjadi perhatian di masyarakat. Kabupaten Tegal sendiri mengaplikasikan buku pedoman tersebut mulai tahun 2018
Banyak orang menginginkan fogging, karena dalam pikiran mereka, itu adalah solusi yang praktis. Baik dalam persepsi untuk mencegah DBD, mengusir atau membunuh nyamuk, atau menanggulangi sebuah ledakan kasus DBD yang sedang terjadi. Salah paham tentang indikasi fogging ini tidak hanya di masyarakat awam, bahkan selevel pejabat daerah pun kadang tidak tahu indikasi fogging yang sebenarnya. Hal ini bisa dimaklumi karena untuk memahami kriteria indikasi pengasapan butuh pemahaman tentang ilmu epidemiologi.
Tenaga kesehatan wajib meluruskan pemahaman di masyarakat. Mungkin persepsi masyarakat yang keliru tentang fogging ini berawal dari pengalaman tindakan fogging di lapangan yang pernah mereka lihat. Mereka mengira itu adalah tindakan untuk pencegahan bukan penanggulangan kasus. Kesalahpahaman ini bisa terjadi karena masyarakat tidak diberi tahu maksud dan tujuan adanya fogging saat itu, yakni karena adanya penularan kasus di tetangganya.
Salah paham mengenai indikasi fogging juga bisa berupa pemahaman yang keliru bahwa fogging ditujukan untuk mengusir atau membunuh nyamuk. Memang benar, banyak nyamuk akan mati dan terusir. Masyarakat pun bisa merasakannya beberapa saat setelah dilakukan fogging. Padahal pengasapan DBD dilakukan karena adanya penularan kasus yang melatarbelakanginya.
Hal lain yang membuat masyarakat kerap meminta fogging, adalah karena mereka tidak tahu bahayanya fogging. Mereka tidak tahu bahwa ada efek buruk dari insektisida dalam asap tersebut. Yang sejatinya adalah toksik (racun) bagi saluran pernapasan manusia, binatang ternak, dan lingkungan. Terlebih lagi efek buruk jangka panjang, seperti resiko terjadinya kekebalan nyamuk terhadap insektisida. Hal itu nyata-nyata terjadi karena efek fogging. Ada juga fenomena trans-ovarial, dimana mutasi genetik terjadi dalam siklus kembang biak nyamuk, sehingga telur baru sudah mengandung virus Dengue di dalamnya. Hal ini merekomendasikan kita untuk lebih penting melakukan PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk) sebagai pencegahan, daripada mengandalkan fogging.
Sungguh banyak masyarakat yang belum mengerti sampai sejauh itu. Kebanyakan dari mereka berpikir jangka pendek: dengan fogging, nyamuk hilang, masalah selesai. Satu hal lagi yang mendasari mengapa permintaan fogging begitu banyak di masyarakat, adalah karena mereka melihat contoh di daerah lain bisa melakukannya, tanpa syarat adanya penularan kasus yang sedang terjadi. Hal-hal yang sedemikian seharusnya dihindari oleh tenaga kesehatan dalam memberikan rekomendasi tindakan fogging. Integritas tenaga kesehatan dipertaruhkan dalam menjaga kesehatan lingkungan dan efek buruk jangka panjangnya. Mengijinkan fogging tanpa syarat keilmuan epidemiologi yang mendasarinya, adalah contoh yang buruk yang menyebabkan akan semakin banyak masyarakat meminta fogging tanpa syarat.
Kadang pula terjadi, fogging dilakukan "tanpa permisi". Dilakukan oleh pihak ketiga, entah penyedia jasa pengendalian vektor, swadaya, atau oleh sebuah organisasi atau partai. Mereka membeli alat fogging dan insektisida sendiri dan membayar tenaga pelaksana sendiri. Alat fogging dan insektisida memang bisa dibeli dengan bebas. Internet menyediakan banyak info tentang hal itu. Namun Permenkes nomor 374 tahun 2010 mengatur bagaimana pengendalian vektor seharusnya dilakukan.
Sesuai dengan permenkes tersebut, pihak swasta yang membeli sendiri alat fogging, melatih tenaga dan sebagainya, tetap wajib mendapat izin dari Dinas Kesehatan Kabupaten Tegal untuk melakukan pengasapan. Fogging memang bisa dilakukan pihak swasta, tentunya harus memiliki ijin operasional dari Dinkes. Dan fogging tersebut hanya dilakukan atas dasar hasil kajian surveilans epidemiologi tentang penyebaran penyakit tular vektor. Penyelenggara pengendalian vektor swasta yang menggunakan bahan kimia itu pun harus mempunyai tenaga entomolog dan tenaga kesehatan lingkungan yang terlatih, serta wajib melaporkan kegiatannya ke Dinas Kesehatan. Artinya, rekomendasi untuk dilakukan fogging atau tidak, tetap diberikan oleh Dinas Kesehatan. Dan kita punya aturan untuk itu.
Pemkot Semarang bahkan telah memiliki Peraturan Daerah (Perda) nomor 5 tahun 2010 tentang pengendalian DBD. Pelaksanaan Fogging tanpa seizin Dinkes kota Semarang terancam denda 50 juta. Sanksinya tipiring, denda Rp 50 juta atau enam bulan kurungan. Dalam penelitian, fogging hanya menghilangkan nyamuk dewasa, sedangkan nyamuk kecil menjadi kebal dan akan menambah banyak. Ini untuk mempertegas agar masyarakat tidak mudah melakukan fogging yang justru tidak efektif.
Pelaksanaan Pengasapan DBD di Kabupaten Tegal yang telah dilaksanakan
Untuk wilayah Kabupaten Tegal sendiri, tidak membutuhkan tenaga penyemprot, alat, bahan bakar dan obat dari luar Dinas Kesehatan. Semuanya sudah tercukupi. Dinas Kesehatan selalu bekerja profesional menggunakan standar operating prosedur pengasapan yang ada, salah satunya adalah buku pedoman Kementerian Kesehatan RI tentang pencegahan dan penanggulangan DDB di Indonesia tahun 2017 yang diterapkan mulai tahun 2018.
Selama 5 tahun terakhir dalam penanggulangan penyakit Demam Berdarah Dengue di Kabupaten Tegal, Dinas Kesehatan mendapatkan laporan beberapa kejadian terkait pengasapan sebagai berikut:
a. Masih ada instansi,
desa, lembaga, perusahaan, partai yang meminta dilakukan pengasapan/ fogging
tanpa adanya kasus, hanya untuk pencegahan atau sekedar mengusir nyamuk. Untuk
hal ini Dinas Kesehatan tegas menolak mengijinkan pengasapan tanpa dasar
indikasi secara keilmuan epidemiologis.
b.
Ada desa yang membeli
alat fogging dan melakukan fogging mandiri tanpa seijin Dinas Kesehatan, yakni
desa Demangharjo kecamatan Warureja Kabupaten Tegal. Dan alat tersebut juga
pernah dipinjam desa lain untuk melakukan fogging, yakni desa Warureja, dan
Desa Kendayakan Kecamatan Warureja Kabupaten Tegal. Terkait hal ini Dinas
Kesehatan telah berkordinasi dengan Puskesmas setempat untuk mengadakan
penyuluhan pada aparat desa terkait untuk tidak lagi menggunakan alat fogging
tersebut di luar indikasi epidemiologis.
c. Ada beberapa usulan
beberapa dana desa untuk pengadaan alat pengasapan. Terkait hal ini Dinas
Kesehatan Kabupaten Tegal memerintahkan Puskesmas untuk tidak memberikan
rekomendasi kepada Desa yang akan membeli alat tersebut. Tindakan ini berhasil
menggagalkan rencana pengadaan tersebut.
d. Semua permintaan pengasapan yang tidak sesuai dengan prosedur ditolak dengan baik, dengan dasar peraturan yang berlaku, serta tidak menimbulkan polemik di masyarakat. Jika ada laporan terkait dugaan kasus DBD (rumor) Puskesmas segera melakukan penyelidikan epidemiologi untuk mengkonfirmasi kasus tersebut. Jika memang terbukti memenuhi indikasi fogging, pasti dilakukan.
3. Perbedaan Pedoman Pengasapan
Ada beberapa hal pokok yang sangat mendasar dalam pelaksanaan pengasapan penanggulangan DBD antara sebelum dan sesudah adanya buku pedoman Kementerian Kesehatan RI tentang pencegahan dan penanggulangan DDB di Indonesia tahun 2017. Perbedaan ini akan diaplikasikan untuk mengakomodir kebutuhan penanggulangan DBD di lapangan. Hal-hal pokok tersebut adalah:
a.
Ruang lingkup kasus
sasaran pengasapan
b.
Interval waktu
epidemiologi antar kasus
c.
Kriteria dilakukannya
pengasapan.
4. Analisa dan Pembahasan
a.
Ruang lingkup kasus
Pedoman lama tentang pengasapan hanya melihat pada
sasaran kasus Demam Berdarah Dengue (DBD). Selain kasus DBD seperti Demam
Dengue (DD) tidak bisa dilaksanakan pengasapan. Padahal DBD dan DD adalah
penyakit dengan penyebab yang sama yakni virus Dengue dengan vektor penular
yang sama pula yakni nyamuk Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus. Yang membedakan
keduanya secara klinis adalah terjadinya perembesan plasma pada penyakit DBD.
Nilai Laboratorium |
DBD |
DD |
Trombosit |
<100.000 uL |
<150.000 uL |
Haematokrit |
Ø
20% |
5 – 20% |
Perembesan plasma pada kasus DBD ditandai dengan
penurunan kadar laboratorium pada Trombosit dan peningkatan kadar Haematokrit
atau adanya tanda efusi pleura, asites dan hypoalbuminemia (Kriteria
pendiagnosaan DBD menurut WHO tahun 1997). Maka dalam hal ini keduanya
mempunyai potensi yang sama untuk menjadi KLB, DD mempunyai potensi yang sama
untuk menular menjadi DBD. Demikian pula sebaliknya.
Maka dari itu buku pedoman pencegahan dan
penanggulangan DBD di Indonesia terbitan Kementerian Repulik Indonesia tahun
2017 ini tidak lagi membedakan antara DBD dan DD dalam hal penanggulangan di
lapangan. Penanggulangan di lapangan mempunyai ruang lingkup tata laksana
penyakit Infeksi Dengue. Baik itu DBD, DD, DSS (Dengue Syock Syndrom), maupun EDS
(Expanded Dengue Syndrom).
DSS adalah DBD yang mengalami stadium syock. Sementara
EDS adalah kasus infeksi Dengue (DD atau DBD) yang disertai manifestasi klinis
yang tidak biasa, yang ditandai dengan kegagalan organ berat seperti hati,
ginjal, jantung, otak. Semua infeksi Dengue ini masuk dalam ruang lingkup
pelaksanaan pengasapan, entah penderitanya hidup maupun meninggal.
Luasnya ruang lingkup
ini kemungkinan akan menambah banyak rekomendasi untuk dilaksanakannya
pengasapan. Kasus DD yang selama ini berjumlah lebih banyak hingga 3 kali lipat
atau lebih dari kasus DBD akan menjadi pertimbangan untuk melakukan pengasapan.
Hal ini juga menambah focus petugas program DBD kepada kasus-kasus DD. DD yang
selama ini agak “terabaikan” dan dianggap tidak berbahaya, menjadi penyakit
yang sama bahayanya dengan DBD. Pengamatan dan fungsi surveilans epidemiologi
harus mengamati trend kasus DD juga karena keberadaannya bermakna.
Demikian pula tentang
kriteria tambahan kasus di lapangan. Demam tanpa sebab yang menurut pedoman
terdahulu hanyalah berarti kasus demam tanpa penyebab yang jelas seperti
observasi demam dan demam kejang, kini menurut buku pedoman pencegahan dan
penanggulangan DBD di Indonesia terbitan Kementerian Repulik Indonesia tahun
2017 diartikan suspek DBD. Hal ini menegaskan lagi bahwa adanya kasus tambahan
di lapangan sebanyak 3 orang yang dapat memenuhi syarat pengasapan bukan hanya
demam tanpa penyebab yang jelas saja. Melainkan demam selama 2-7 hari (>39
derajat celsius), dengan disertai manifestasi perdarahan. Baik manifestasi
perdarahan makro maupun mikro.
Aturan baru ini
benar-benar mewajibkan petugas yang akan melaksanakan Penyelidikan Epidemiologi
(PE) harus minimal membawa tensimeter karena manifestasi perdarahan mikro
minimal ditandai dengan adanya ruam. Dan untuk mengetahui ruam tersebut harus
dilakuka prosedur Rumpel Leede Test (RL test) atau Tourniquete Test.
Tes
tourniquet (juga
dikenal sebagai uji kerapuhan kapiler Rumpel-Leede atau hanya tes kerapuhan kapiler )
menentukan kerapuhan kapiler . Ini adalah metode diagnostik klinis untuk menentukan kecenderungan hemoragik pasien. Ini menilai kerapuhan dinding
kapiler dan digunakan untuk mengidentifikasi trombositopenia (jumlah trombosit yang berkurang).
Tes Tourniquet |
Tes ini merupakan bagian dari
algoritma WHO untuk diagnosis demam berdarah. Manset tekanan darah diberikan dan
digembungkan ke titik tengah antara tekanan darah sistolik dan diastolik selama lima menit. Tes ini positif jika ada lebih
dari 10 hingga 20 petechiae per inci persegi.
Beberapa penelitian telah
menunjukkan bahwa tes tourniquet mungkin tidak memiliki spesifisitas tinggi. Faktor-faktor yang mengganggu
dengan tes ini adalah wanita yang pramenstruasi, postmenstrual dan tidak
mengonsumsi hormon, atau mereka yang kulitnya rusak karena matahari, karena
semuanya akan meningkatkan kerapuhan kapiler. Namun banyak penelitian lain
menunjukkan bahwa tes tourniquet memiliki spesifisitas yang baik tetapi
sensitivitasnya rendah. Oleh karena itu, penggunaannya
sebagai tes diagnostik untuk demam berdarah dipertanyakan karena orang yang
memiliki tes negatif mungkin masih menderita demam berdarah. Itu tidak lagi digunakan sebagai tes klasifikasi untuk demam
berdarah dengue dalam pedoman WHO terbaru secara
konfirmasi, namun masih digunakan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dalam menentukan status suspek
infeksi Dengue.
b.
Interval waktu
epidemiologi antar kasus
Pedoman terdahulu menyatakan bahwa sebuah kumpulan
kasus dinyatakan ada hubungan epidemiologi jika memiliki jarak waktu maksimal
adalah 3 minggu, diambil dari tanggal awal demam. Sementara buku pedoman
pencegahan dan penanggulangan DBD di Indonesia terbitan Kementerian Repulik
Indonesia tahun 2017 mempersempit interval waktu epidemiologi antar kasus
tersebut menjadi 1 minggu. Jika ada kasus tambahan lain di luar interval itu
maka dianggap tidak ada hubungan secara epidemiologis dengan kasus lainnya.
Baik itu kasus konfirmasi ataupun suspek.
Dalam hal menyempitnya interval waktu epidemiologi
antar kasus ini akan mengurangi rekomendasi pengasapan. Banyak kasus yang dengan
pedoman terdahulu dianggap memenuhi syarat pengasapan, kini tidak. Perubahan
ini yang mungkin bisa memicu gejolak di masyarakat yang masih “fogging minded”. Jika tidak
dikomunikasikan dengan baik, dapat menjadikan salah paham mengenai respon
tanggap pemerintah dalam penanggulangan kasus DBD di masyarakat.
Petugas DBD di lapangan harus lebih intensif lagi
dalam penelusuran historis riwayat penyakit infeksi Dengue di lapangan,
terutama mengenai tanggal awal demam kasus tersebut yang sangat bermakna.
c.
Kriteria dilakukannya
pengasapan.
Pedoman terdahulu mempunyai kriteria pengasapan DBD
sebagai berikut:
1.
Ditemukan 1 kasus DBD
dan tambahan minimal 1 kasus DBD
2.
Ditemukan 1 kasus DBD
dan tambahan 3 kasus demam tanpa sebab
3.
Ditemukan 1 kasus DBD
meninggal dunia
Semua kriteria di atas memenuhi interval waktu
maksimal 3 minggu dan jarak tempat antar kasus maksimal 100 meter. Dengan
tambahan syarat lingkungan adalah adanya house index >5% (rumah yang ada
jentik nyamuknya).
Berbeda dengan point di atas, kriteria pengasapan dan
tatalaksana kasus DBD menurut buku pedoman pencegahan dan penanggulangan DBD di
Indonesia terbitan Kementerian Repulik Indonesia tahun 2017 adalah sebagai
berikut:
Perbedaan spesifik
dalam kriteria pengasapan berdasarkan buku pedoman pencegahan dan
penanggulangan DBD di Indonesia terbitan Kementerian Repulik Indonesia tahun
2017 adalah mengaplikasikan ruang lingkup kasus tadi ke dalamnya. Semua kasus
infeksi Dengue baik DBD, DD, DSS maupun EDS masuk pertimbangan kriteria
pengasapan. Kasus infeksi Dengue meninggal tidak lagi dianggap sebagai kasus
yang harus dilakukan pengasapan jika tidak ada tambahan kasus. Kriteria
pengasapan terbaru ini berfokus pada inti tujuan dari pengasapan itu sendiri
yakni memutus mata rantai penularan kasus. Maka untuk dilakukan pengasapan
harus dibuktikan adanya penularan dan adanya vektor penular di lapangan. Rentang waktu antar kasus yang dinyatakan berhubungan secara epidemiologis juga berubah menjadi 1 minggu.
4. Penerapan Pedoman DBD baru di lapangan
Perubahan pedoman tata
laksana DBD di lapangan sesuai dengan buku pedoman pencegahan dan
penanggulangan DBD di Indonesia terbitan Kementerian Repulik Indonesia terbitan
tahun 2017, yang diaplikasikan di Kabupaten Tegal mulai tahun 2018 ini mengubah
tata kerja petugas DBD di lapangan diantaranya:
a.
Selalu membawa alat tensi
meter saat melakukan Penyelidikan Epidemiologi untuk skrining kategori suspek
Dengue pada tambahan kasus di lapangan.
b.
Meningkatkan pengamatan
surveilans kasus DD.
c.
Menegaskan batasan kriteria
klinis dan laboratorium kasus DBD dan DD.
d.
Interval maksimal 1
minggu sebagai kriteria hubungan epidemiologi antar kasus, meningkatkan
pengamatan tambahan kasus di lapangan dalam rentang harian. Hal ini juga memicu
untuk melakukan respon cepat terhadap adanya rumor di masyarakat.
e.
Melakukan komunikasi
yang baik dengan tokoh masyarakat dan warga mengenai pedoman ini disertai
dengan segi yang melatarbelakanginya secara komprehensif untuk memberi
pemahaman dan mengurangi kemungkinan timbulnya gejolak di masyarakat, khususnya
dalam hal desakan masyarakat yang menginginkan pengasapan tanpa indikasi yang
tepat.
Berikut ini tabel
jumlah kasus infeksi Dengue dan jumlah fogging di Kabupaten Tegal sejak tahun
2016 hingga bulan September 2020.
Tahun |
Kasus DBD |
Jumlah kasus DD |
Kasus Dengue Meninggal |
Jumlah Fogging focus DBD |
2016 |
610 |
1156 |
18 |
151 |
2017 |
261 |
333 |
3 |
60 |
2018 |
77 |
286 |
1 |
10 |
2019 |
370 |
1449 |
3 |
55 |
s.d September 2020 |
332 |
1291 |
4 |
83 |
Dari tabel dan grafik di atas mengambarkan bahwa sampai dengan bulan September tahun 2020 terjadi penurunan kasus DD dan DBD namun terjadi kenaikan jumlah fogging focus. penerapan pedoman tata laksana pengasapan DBD yang baru ini belum dapat disimpukan berhubungan dengan naik atau turunnya jumlah fogging focus kasus DBD di lapangan, karena masih banyak variable lain selain jumlah kasus DBD yang ada di tahun 2018 sampai dengan sekarang. variable lain seperti masuk tidaknya kasus infeksi Dengue yang ada itu ke dalam syarat kriteria pengasapan DBD. Masih ada variable sebaran kasus dan sebaran waktu yang menentukan berhubungan atau tidaknya secara epidemiologis. Artiya, dalam penerapan pedoman tata laksana pengasapan ini, jumlah kasus infeksi Dengue tidak berpengaruh positif terhadap jumlah kegiatan fogging focus.
5. Kesimpulan
Pengendalian vektor diatur dalam permenkes nomor
374 tahun 2010. Pengendalian vektor bertujuan untuk mencegah/ membatasi
terjadinya penularan penyakit tular vektor di suatu wilayah sehingga penyakit
tersebut dapat dicegah dan dikendalikan. Dirjen
P2P Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2017 menerbitkan buku
pedoman pencegahan dan penanggulangan DBD di Indonesia yang harus
diimplementasikan di seluruh wilayah
Dinas Kesehatan
Kabupaten Tegal mulai menerapkannya sebagai pedoman pelaksanaan pengasapan /fogging untuk penanggulangan DBD di
lapangan. Jika memang memenuhi syarat indikasi fogging maka Dinas Kesehatan akan merekomendasikan penngasapan bahkan tanpa
adanya permintaan sekalipun. Namun jika
memang tidak memenuhi syarat indikasi fogging,
maka Dinas Kesehatan pasti akan menolak memberikan rekomendasi pengasapan.
Fogging hanyalah salah satu dari tindakan pengendalian vektor. Tindakan vektor lain adalah seperti Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan 3M (Menguras, Menutup, Mendaur ulang barang bekas), larvasida, melakukan tindakan-tindakan mengurangi populasi nyamuk seperti mengurangi pakaian yang bergelantung, memberi udara dan cahaya yang cukup dalam ruangan, memakai kelambu, menggunakan repelent nyamuk, memelihara ikan, ovitrap, larvitrap, dan ssebagainya.
No comments:
Post a Comment