Selamat Datang di blog Surveilans yang membahas tentang Surveilans Penyakit, Bencana dan surveilans haji resmi milik Dinas Kesehatan Kabupaten tegal Jl. Dr. Soetomo 1C Slawi Kab. Tegal telp 0283 491644, fax 0283 491674 email: surveilanstegal@yahoo.co.id
Audio Bumper
Sunday, November 21, 2021
Target Penemuan Kasus Baru Kusta 2022
Sunday, October 3, 2021
DBD elektronik, perangkat laporan DBD di Kabupaten Tegal
Monday, July 26, 2021
Gambaran Chikungunya di Kabupaten Tegal
Chikungunya adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus Chikungunya
(CHIKV)
yang ditularkan lewat gigitan nyamuk Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus. Chikungunya
memiliki masa inkubasi antara 1 sampai 12 hari namun biasanya hanya berlangsung
dalam 2 sampai 3 hari. Chikungunya sendiri memiliki gejala yang sama dengan
demam berdarah dengue yaitu demam tinggi, sakit kepala, menggigil, mual,
muntah, nyeri sendi dan otot, sakit perut, dan bintik-bintik merah pada kulit.
Seperti yang kita tahu, Kabupaten Tegal merupakan daerah endemis DBD yang mana tidak menutup kemungkinan vektor yang berperan yaitu Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus dapat menularkan demam Chikungunya juga.
Berdasarkan grafik diatas, Kabupaten Tegal pada Tahun 2020 memiliki penderita Chikungunya sebanyak 242 penderita dengan 154 penderita perempuan dan 88 penderita laki-laki. Dari 29 Puskesmas d Kabupaten Tegal, 8 puskesmas melaporkan bahwa di wilayahnya memiliki kasus Chikungunya, yaitu Adiwerna, Danasari, Kaladawa, Kambangan, Lebaksiu, Kedungbanteng, Tarub, dan Kramat. Puskesmas Kaladawa menjadi penyumbang penderita Chikungunya terbanyak yaitu sejumlah 87 penderita dengan 63 penderita perempuan dan 24 merupakan penderita laki-laki.
Berdasarkan grafik diatas, Kabupaten Tegal
pada Januari hingga Mei 2021 memiliki penderita Chikungunya sebanyak 271
penderita dengan 129 penderita laki-laki dan 142 penderita perempuan. Hingga
Mei 2021, jumlah total kasus Chikungunya melebihi total kasus Chikungunya dari
tahun sebelumnya. Dari 29 Puskesmas di Kabupaten Tegal, 9 puskesmas melaporkan
bahwa diwilayahnya memiliki kasus Chikungunya, Kedungbanteng, Slawi, Kaladawa,
Balapulang, Lebaksiu, Kambangan, Kramat, Pagiyanten dan Kalibakung. Puskesmas Balapulang
menjadi penyumbang penderita Chikungunya terbanyak yaitu sejumlah 72 penderita.
Bersamaan dengan merebaknya COVID-19 di bulan Maret 2020, kasus Chikungunya di Kabupaten Tegal juga ikut merebak dimulai pada bulan April 2020.
Melihat grafik diatas, penemuan kasus
chikungunya pada tahun 2020 cenderung fluktuatif. Kasus paling tinggi terdapat
pada bulan Juli 2020 yaitu sebanyak 62 kasus. Bulan Juli tersebut adalah peningkatan
kasus terbanyak dari bulan sebelumnya, yang hanya terdapat 14 kasus. Pada bulan
September, kasus chikungunya mengalami penurunan secara drastis dari Juli
dengan 62 kasus menjadi 3 kasus.
Melihat grafik diatas, penemuan kasus
chikungunya pada Januari hingga Mei 2021 cenderung fluktuatif. Kasus paling
tinggi terdapat pada bulan April yaitu sebanyak 115 kasus. Peningkatan kasus
paling tajam terjadi pada bulan April tersebut.
Incidence rate adalah frekuensi penyakit atau kasus baru yang berjangkit dalam
masyarakat di suatu tempat atau wilayah atau negara pada waktu tertentu
(umumnya 1 tahun) dibandingkan dengan jumlah penduduk yang mungkin terkena
penyakit baru tersebut. Incidence
rate kasus Chikungunya pada tahun 2020 dapat dilihat dibawah ini.
IR = Jumlah kasus baru pada periode waktu tertentu x 100.000
Jumlah populasi beresiko
= 242 x 100.000
1566587
= 15.45 ≈ 15
Artinya, dari 100.000 penduduk di Kabupaten Tegal terdapat 15 orang yang
menderita chikungunya pada tahun 2020.
Untuk menekan kasus Chikungunya di Kabupaten Tegal bebas diperlukan
upaya pencegahan dan pengendalian yang tepat yaitu dengan melakukan 3M Plus
(menguras tempat penampungan air, menutup tempat penampungan air, mengubur
barang bekas, menghindari gigitan nyamuk, tidur memakai kelambu dan memakai
obat nyamuk atau lotion anti nyamuk). Upaya pengendalian penularan kasus Chikungunya
dilakukan dengan melakukan fogging atau pengasapan sesuai dengan indikasi.
Perlu kontribusi dari masayarakat dan pemerintah setempat agar upaya pencegahan
dan pengendalian chikungunya dapat berjalan baik dan tepat sasaran.
Ditulis oleh Fitriyah Noor Salsabila A
(Mahasiswa FKM UNDIP, PKL Dinkes Kab. Tegal 2021)
Kros Notifikasi kasus DBD
Kasus DBD luar wilayah, apa yang harus dilakukan? Pastilah dikoordinasikan atau sering juga disebut kros notifikasi/cross notification/ notifikasi silang. Hal ini dilakukan jika terdapat kemungkinan penyebab sebagai berikut:
1. Faskes wilayah kita merawat pasien dari luar wilayah kita
2. Faskes luar wilayah merawat pasien DBD dari wilayah kita.
3. Terdapat perbedaan domisili secara administrasi dan secara fakta.
Dalam kasus pertama, misalnya RS di wilayah kita melaporkan kepada Dinas Kesehatan setempat tentang adanya kasus DBD dari luar wilayah (kabupaten). Maka yang harus dilakukan adalah Dinas Kesehatan kita melakukan kros notifikasi ke Dinas Kesehatan dimana pasien tersebut berdomisili, agar segera dilakukan Penyelidikan Epidemiologi. Namun pencatatan kasusnya tetap masuk laporan kasus Dinas Kesehatan di mana RS yang merawat berada. Kasus luar wilayah demikianakan masuk pencatatan dan rekapitulasi hingga level provinsi dalam kategori luar wilayah. Demikian pula sebaliknya, dalam kasus kedua.
Dalam kasus ketiga, administrasi rekam medis mencatat domisili pasien sesuai dengan bukti domisili resmi, seperti KTP atau KK. Maka pelaporannya pun pasti menindaklanjuti dari dokumen resmi tersebut. Namun kenyataan di lapangan, ada pasien yang domisilinya tidak sesuai dengan KTP/KK. Misalnya, ada kasus DBD pada anak yang bisa saja dia tidak tinggal bersama ayahnya, namun tinggal bersama famili lain. Atau kasus DBD orang dewasa di mana dia sudah pindah domisili namun belum memperbarui alamat pada dokumen kependudukannya. Atau sebenarnya tidak berniat pindah alamat secara permanen, hanya tinggal sementara waktu, dan saat itu dia terjangkit DBD.
Untuk kasus seperti ini laporan tetap ditujukan kepada Dinas Kesehatan dalam wilayah Rumah SAkit itu merawatnya. Lalu petugas Dinkes tersebut melaporkan kepada Dinkes di wilayah yang secara fakta pasien tersebut tinggal di sana, untuk dilakukan Penyelidikan Epidemiologi (PE). Jadi, yang bertugas melakukan PE adalah petugas setempat di mana dia tinggal secara fakta, bukan secara administratif. Karena di wilayah itulah yang sedang terjadi risiko penularan penyakit.
Kasus yang demikian tetap masuk pencatatan dan pelaporan pada Dinas Kesehatan di mana ada Rumah Sakit yang merawat pasien tersebut. Namun dalam hal penanggulangan penyakitnya, kewenangannya diserahkan petugas di mana dia tinggal dan terinfeksi. Diharapkan komunikasi kros notifikasi demikian bisa berlangsung cepat dalam tempo <24 jam, mengingat penyakit DBD merupakan penyakit potensial wabah yang harus ditangani secara cepat guna mencegah penyebaran lebih lanjut.
Monday, July 12, 2021
Endemisitas DBD di Kabupaten Tegal tahun 2020
Demam
Berdarah Dengue atau yang lebih
dikenal dengan DBD sampai saat ini masih menjadi salah satu masalah kesehatan
yang paling umum ditemukan di Provinsi Jawa Tengah. Hampir setiap tahunnya
sebanyak 35 kabupaten di Provinsi Jawa Tengah melaporkan kasus DBD, termasuk
Kabupaten Tegal.
Endemisitas DBD di Kabupaten Tegal pada tahun 2020 ditentukan dari ada atau tidaknya kasus DBD selama tiga (3) tahun terakhir, yaitu tahun 2018 – 2020. Desa – desa di wilayah kerja seluruh puskesmas di Kabupaten Tegal dikelompokkan menjadi 3 kategori, yaitu endemis, sporadis, dan potensial.
Suatu desa dikategorikan sebagai endemis apabila dalam 3 tahun berturut – turut terdapat kasus DBD. Kategori sporadis artinya suatu wilayah desa terdapat kasus DBD dalam 3 tahun terakhir tetapi tidak berturut – turut. Sementara itu, desa akan dikelompokkan ke dalam kategori potensial apabila tidak terdapat kasus DBD selama 3 tahun terakhir tetapi memiliki potensi untuk perkembangan kasus yang ditandai dengan laporan keberadaan jentik nyamuk oleh Juru Pengawas Jentik (Jumantik).
Berdasarkan laporan kasus pada tahun 2020, sebanyak 22 dari 29 wilayah puskesmas di Kabupaten Tegal masuk ke dalam kategori endemis DBD dan 7 puskesmas termasuk kategori sporadis. Dibandingkan dengan 3 tahun sebelumnya, jumlah ini sama dengan tahun 2019 dan meningkat dari tahun 2018. Pada tahun 2019, sebanyak 22 wilayah puskesmas dikategorikan endemis DBD dan 7 puskesmas dikelompokkan ke dalam sporadis. Sebanyak 20 wilayah puskesmas pada tahun 2018 endemis DBD dan 9 puskesmas lainnya sporadis DBD.
Dari 29 puskesmas, terdapat 29 desa dari total 287 desa di seluruh wilayah kerja puskesmas Kabupaten Tegal yang tergolong desa endemis DBD pada tahun 2020. Sebanyak 174 desa di antaranya tergolong sebagai desa sporadis DBD dan sisanya sebanyak 84 desa masuk ke dalam kategori desa potensial DBD. Wilayah Puskesmas Slawi merupakan wilayah dengan jumlah desa endemis DBD terbanyak, yaitu 5 desa. Kemudian diikuti oleh Puskesmas Lebaksiu dengan 3 desa endemis DBD, Puskesmas Kramat, Puskesmas Dukuhturi, Puskesmas Kedung Banteng, Puskesmas Pangkah, dan Puskesmas Margasari yang masing – masing memiliki 2 desa endemis DBD.
Masih cukup banyaknya wilayah desa di Kabupaten Tegal yang berstatus endemis DBD, serta sebagian besar wilayah yang dikategorikan sporadis DBD perlu menjadi perhatian lebih untuk meningkatkan upaya pencegahan dan pengendalian. Terlebih, wilayah – wilayah yang berpotensi menjadi tempat berkembangnya kasus DBD juga masih begitu luas. Dibutuhkan penguatan gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) di setiap lingkup terkecil wilayah kabupaten, yaitu RT atau RW. Penemuan kasus baru juga harus diupayakan sedini mungkin agar dapat mendapat penanganan lebih cepat dan mencegah dari implikasi buruk kesakitan atau kematian. Peran jumantik – jumantik di setiap desa pun perlu diperkuat.
Penulis: Mailan Lasagi
Thursday, June 24, 2021
Wednesday, June 23, 2021
MODEL PENELUSURAN DALAM PEMERIKSAAN KONTAK ERAT KUSTA
Kegiatan pemeriksaan kontak erat kusta adalah penelusuran kontak erat penderita kusta dalam mendeteksi adanya kasus lain di sekitarnya. Evaluasi pada tahun 2020, sasaran kegiatan pemeriksaan kontak erat kusta adalah kontak erat pasien baru temuan tahun 2020 berjalan dan kontak erat pasien type MB lama/paska RFT yang ditemukan tahun 2014-2017. Sengaja di sini Dinas Kesehatan Kabupaten Tegal memfokuskan pasien lama/paska RFT pada type MB saja untuk memfokuskan pada type kusta yang lebih mudah menularkan.
Dari 187 pasien kusta baru temuan tahun 2020, kontak erat yang
berhasil diperiksa adalah sejumlah 2.695 orang. Artinya, rata-rata jumlah
kontak erat setiap pasiennya adalah 14,4 orang. Dari situ didapatkan temuan 10
orang pasien baru (0,37%). Sementara dari 730 pasien kusta type MB lama/paska
RFT, kontak erat yang berhasil diperiksa adalah 6.462 orang. Artinya, rata-rata
jumlah kontak erat yang diperksa tiap pasiennya adalah 8,8 orang. Dari situ
didapatkan 10 orang temuan pasien baru (0.15%)
Pasien-pasien baru hasil pemeriksaan kontak erat tersebut memiliki
perbedaan makna. 10 pasien baru hasil pemeriksaan kontak erat pasien baru
adalah orang terdekat mereka yang sama-sama menderita kusta dalam waktu yang
sama. Sementara, 10 pasien baru temuan dari pemeriksaan kontak erat pasien kusta
MB lama/paska RFT adalah orang terdekat yang tertular 2-5 tahun yang lalu dan
baru menunjukkan tandanya sekarang setelah melalui masa inkubasi. Rata-rata
masa inkubasi penyakit kusta adalah 2-5 tahun.
Untuk melakukan kegiatan pemeriksaan kontak erat kusta, diperlukan
suatu model penyelidikan epidemiologi khususnya dalam penelusuran kontak erat
siapa saja yang perlu diperiksa. Model ini bisa menjadi acuan petugas untuk
bisa optimal dalam mencari kasus baru pada kontak erat penderita.
Gambar 1. Model penelusuran dalam pemeriksaan kontak erat pasien kusta baru
Dalam pemeriksaan kontak erat pasien kusta baru, misalnya pasien B
adalah indeks kasus (kasus utama) temuan kusta di tahun 2020. Setelah dilakukan
pemeriksaan kontak erat, ternyata di rumahnya ditemukan penderita kusta baru
lagi yaitu pasien C. Dalam hal ini kita perlu menelusuri riwayat siapakah
kontak erat pasien B dan C yang pernah menderita kusta 2-5 tahun ke belakang? Karena
bisa jadi keduanya tertular dari sumber yang sama, misalkan A.
Namun bisa juga pasien B dan C memiliki sumber penularan yang berbeda.
Bisa saja pasien B dan C meskipun sekarang tinggal satu rumah, namun 2-5 tahun
yang lalu memiliki riwayat beda domisili. Misanya B tetap tinggal di rumah asli
domisili, sementara pasien C 3 tahun yang lalu pernah merantau bekerja di luar kota.
Maka pasti keduanya memiliki perbedaan kontak erat. Atau meskipun pasien B dan
C tinggal serumah dari dulu, tetap mereka memiliki perbedaan keterpaparan kontak
sosial karena perbedaan relasi pergaulan, teman permainan, hubungan kerja, dsb.
Bisa jadi pasien B tertular dari A, sementara pasien C tertular dari D.
Penelusuran kemungkinan sumber penularan ini penting untuk diketahui lebih
lanjut adakah kontak erat lain dari A dan D yang sekarang bergejala.Yang sering
jadi masalah dalam pemeriksan kontak erat pasien baru adalah jika 2-5 tahun
yang lalu penderita tinggal di luar kota. Apakah bisa kita menelusuri kemungkinan
siapa penularnya dulu dan apakah ada tanda kusta dari kontak erat dari si
penular tersebut sekarang?
Sementara dalam model penyelidikan epidemiologi pemeriksaan kontak erat pasien kusta lama/paska RFT, misalnya indeks kasusnya adalah B yang ditemukan 2-5 tahun ke belakang. Kita melakukan pemeriksaan pada kontak erat pasien B ini dengan terlebih dulu melihat riwayat berapa bulan bercak pasien B ini dulu ditemukan. Jika bercaknya lebih dari 3 bulan, sebelum pengobatan maka ada kemungkinan dulu dia sudah menularkan pada kontak eratnya. Selidiki siapa saja yang menjadi kontak eratnya pada saat mulai munculnya bercak hingga pasien B ini mendapatkan obat MDT. Lihat, apakah sekarang mereka memiliki tanda kusta.
Gambar 2. Model penelusuran dalam pemeriksaan kontak erat pasien kusta lama/paska RFT
Mungkin dulu saat pasien B ditemukan 2-5 tahun yang lalu sudah dilakukan
pemeriksaan kontak eratnya. Namun masa inkubasi yang lama hanya memungkinkan
pihak yang tertular dari pasien B ini memunculkan tanda gejalanya 2-5 tahun setelahnya.
Itulah mengapa pemeriksaan kontak erat pasien lama/paska RFT harus dilakukan
rutin 2-5 tahun setelah indeks kasus tersebut ditemukan. Yang kadang jadi soal dalam
pemeriksaan kontak erat pasien lama/paska RFT adalah penelusuran pada kontak
eratnya yang dulu tinggal bersama pasien B, namun sekarang dia tinggal jauh
dari domisili pasien B tersebut. Apakah bisa kita menelusuri tanda kusta pada
dia?
Demikian pola-pola kemungkinan penularan yang bisa terjadi dan
perlu ditelusuri pada sebuah penyelidikan epidemiologi selama pemeriksaan
kontak erat kusta, baik pasien temuan baru maupun pasien lama/paska RFT. Dengan
penyelidikan yang intensif melalui berbagai relasi kontak tersebut memungkinkan
hasil yang efektif berupa penemuan kasus baru, dan deteksi lebih dini.
Ditulis oleh: Bagus Johan Maulana, SKM. Wasor kusta Kabupaten Tegal
Referensi: Permenkes RI Nomor 11 tahun 2019 tentang Penanggulangan Kusta.
Wednesday, June 16, 2021
SILANTOR: Sistem Informasi Surveilans dan Vektor
Tuesday, June 15, 2021
Putaran I POPM Kecacingan tahun 2021
Kabupaten Tegal ditetapkan menjadi daerah intervensi Stunting tahun 2021 ini. Dan untuk itu, pelaksanaan Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) kecacingan dilaksanakan 2 kali dalam setahun, dengan interval 6 bulan. Yakni bukan Februari dan Agustus 2021 bersamaan dengan pemberian vitamin A.
Periode pertama POPM Kecacingan bulan Februari di Kabupaten Tegal sukses dengan cakupan 99.72%. Dalam masa pandemi seperti ini, perlu strategi khusus dalam pemberian obat cacing dengan penerapan protokol kesehatan dan pendelegasian tugas. Untuk sasaran anak usia PAUD, TK dan SD diberikan saat pelajar memberikan tugas ke sekolah, mengambil buku paket atau proses administrasi sekolahan. Obat cacing dititipkan melalui gurunya. Untuk sasaran pra sekolah, obat cacing bisa dititipkan melalui kader posyandu.
Obat cacing Albendazole 400 mg untuk keperluan POPM periode I kemarin telah didistribusikan sejak bulan Januari 2021 sejumlah 314.500 tablet. Maka di Gudang Farmasi Kabupaten Tegal kini masih tersisa 63.680 tablet untuk persediaan mendatang. Adapun obat cacing sisa dari kegiatan POPM ini dapat digunakan Puskesmas untuk program rutin pengobatan dan pencegahan kecacingan.
Untuk persiapan kegiatan POPM putaran II (Agustus 2021), Dinas Kesehatan akan mendistribusikan obat cacing Albendazole 400mg sebanyak 305.947 tablet untuk sasaran sejumlah 293.961 anak kepada Puskesmas di wilayah Kabupaten Tegal pada bulan Juni ini.
Kegiatan POPM Kecacingan setahun 2 kali ini akan terus dilaksanakan dalam rangka intervensi Stunting di Kabupaten Tegal. Semoga secara bermakna bisa mencegah kecacingan dan menurunkan angka stunting sehingga akan tercipta generasi penerus yang sehat, berprestasi dan produktif.
Thursday, May 6, 2021
Dukungan NLR untuk pengendalian Kusta di Kabupaten Tegal
Sunday, March 21, 2021
KEBIJAKAN-KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN TEGAL DALAM PROGRAM PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE DI KABUPATEN TEGAL
1.
Latar
belakang
Kabupaten Tegal merupakan bagian dari wilayah Provinsi Jawa Tengah dengan luas daratan sebesar 87.878,56 ha dan luas lautan sebesar 121,50 km2. Terbagi dalam 18 kecamatan dan 287 desa/kelurahan. Sedangkan sarana kesehatan yang ada terdiri dari 9 Rumah Sakit (3 RS pemerintah dan 6 RS Swasta), 29 Puskesmas semuanya Puskesmas Rawat Inap (mampu persalinan dan PONED), Puskesmas Pembantu sebanyak 64 buah dan Poliklinik Kesehatan Desa (PKD) sebanyak 211 buah. Kabupaten Tegal terletak antara : 108º 57′ 6′′ - 109º 21′ 30″ Bujur Timur dan 6º 50′ 41′′ - 7º 15′ 30″ Lintang Selatan dengan batas-batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan Kota Tegal dan Laut Jawa, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Pemalang, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Brebes dan Banyumas dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Brebes.
Undang-Undang
RI. Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Pasal 157 ayat (3) menyebutkan bahwa penyakit menular masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat yang menimbulkan kesakitan, kematian, dan kecacatan yang tinggi
sehingga perlu dilakukan penyelenggaraan penanggulangan melalui upaya
pencegahan dan pengendalian yang efektif dan efisien.
Salah
satu yang menjadi perhatian dalam pengendalian penyakit menular di Kabupaten
Tegal adalah kasus DBD (Demam Berdarah Dengue). Situasi kasus DBD di Kabupaten
Tegal pada tahun 2019 terjadi kenaikan yang signifikan dibandingkan tahun 2018.
Jumlah kasus DBD tahun 2019 ada 370 kasus dengan kematian 3 anak, sedangkan
jumlah kasus DBD tahun 2018 berjumlah 77 kasus dengan kematian 1 anak. Jumlah
desa endemis DBD kini sebanyak 21 desa atau 7,3 % dari seluruh desa di Kabupaten Tegal.
Upaya pengendalian
DBD di Indonesia bertumpu pada 7 kegiatan pokok yang tertuang dalam
Keputusan Menteri Kesehatan nomor 581/MENKES/SK/VII/1992 tentang
Pemberantasan Demam Berdarah Dengue (DBD). Salah satu prioritas utama
yaitu ditekankan pada upaya pencegahan melalui pemberdayaan dan peran
serta masyarakat.
Upaya pencegahan dan pengendalian DBD di Kabupaten Tegal mempunyai tujuan
diantaranya untuk:
a.
Meningkatkan
upaya promotif dan preventif yang ditujukan untuk menurunkan angka kesakitan
dan kematian akibat penyakit DBD;
b.
Membatasi
penularan serta penyebaran penyakit DBD adar tidak meluas serta berpotensi
menimbulkan Kejadian Luar Biasa atau wabah.
c.
Mampu
mendiagnosa penyakit DBD lebih dini.
d.
Mengendalikan
vektor penyakit DBD.
Indikator pencegahan dan pengendalian penyakit DBD adalah sebagai berikut :
a. Terlaksananya upaya pencegahan penyakit DBD yang
dilakukan melalui kegiatan promosi kesehatan, kegiatan pemantauan jentik
berkala, meningkatnya ABJ (Angka Bebas Jentik), surveilans kesehatan,
pengendalian faktor resiko.
b.
Terlaksananya
pengendalian penyakit DBD dengan kegiatan penemuan penderita di fasilitas
pelayanan kesehatan, pendiagnosaan DBD lebih dini, penyelidikan epidemiologi,
tata laksana kasus di lapangan dengan respon cepat.
Untuk mengakomodir semua itu peran pemerintah daerah adalah membuat
regulasi, peraturan kebijakan di levelnya yang dapat berperan untuk
mengorganisasikan elemen yang ada, memerintahkan kebijakan yang ada, dan
mengkontrol aksi agar dapat mencapai tujuan pengendalian penyakit DBD.
Kebijakan yang dibakukan tersebut dapat mengalokasikan sumber-sumber daya yang
ada untuk dapat diberdayakan, dikolaborasikan, diarahkan, difokuskan untuk
mencegah dan mengendaikan penyakit DBD di Kabupaten Tegal.
Bagaimana upaya penanggulangan DBD ini dapat diefektifkan dengan berbagai peraturan kebijakan maupun instruksi resmi dari pemangku kebijakan daerah, sehingga pemerintah daerah andil secara langsung dalam menggerakan semua komponen yang ada di masyarakat untuk bersama mencegah dan menanggulangi sebagai wujud tanggung jawab bersama.
2.
Upaya yang
telah dilakukan
Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah daerah Kabupaten Tegal dalam membuat peraturan kebijakan secara tertulis mulai dari surat edaran, hingga surat keputusan bupati. Berikut inilah peraturan kebijakan tersebut.
a.
Surat edaran nomor 443.4/1086 tahun 2013 tentang gerakan
pemberantasan sarang nyamuk DBD
b.
Instruksi Bupati nomor 440/04/1472 tahun 2014 tentang gerakan
pemberantasan sarang nyamuk DBD
c.
Surat edaran nomor 440/04/0252 tahun 2016 tentang kewaspadaan dini
penyakit DBD
d.
Surat keputusan Bupati Tegal nomor 605/2017 tentang kelompok kerja
operasional penanggulangan DBD
e. Instruksi Bupati Tegal nomor
443.4/05/986 tahun 2019 tentang gerakan serentak pencegahan dan pengendalian
penyakit DBD.
f. Surat edaran bupati tentang kewaspadaan dini penyakit demam berdarah nomor 440/323/2022
g. Surat Edaran Bupati Tentang Kewaspadaan Dini Penyakit Demam Berdarah Dengue nomor 400.7.7.1/B.65
Surat Edaran Bupati Tentang Kewaspadaan Dini Penyakit Demam Berdarah Dengue nomor 400.7.7.1/B.65
Surat ini dipicu kenaikan kasus DBD dari awal tahun 2024, sehingga Kabupaten Tegal harus bersikap waspada untuk mengantisipasinya.
Surat edaran bupati tentang kewaspadaan dini penyakit demam berdarah 440/323/2022
Surat edaran ini dibuat karena terjadi kenaikan kasus DBD hingga 2x lipat lebih sampai dengan bulan Juni 2022 dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya. Oleh sebab itu, bupati memberikan surat eadran kepada lintas sektoral, semua OPD, organisasi masyarakat untuk berperan aktif pencegahan dan pengendalian penyakit DBD di masyarakat.
Surat edaran nomor 443.4/1086
tahun 2013 tentang gerakan pemberantasan
sarang nyamuk DBD
Surat edaran ini dibuat kala itu dengan mendasari konteks naiknya tren
kasus DBD di tahun 2013. Hingga pada minggu kedua bulan April saja, kasus DBd
sudah mencapai 90 penderita dengan 7 kematian. Surat edaran itu diedarkan ke
seluruh OPD (Organisasi Perangkat Dinas) untuk melakukan tindakan pencegahan
dengan gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) secara serentak setiap
minggunya.
Instruksi Bupati nomor
440/04/1472 tahun 2014 tentang gerakan pemberantasan sarang nyamuk DBD
Instruksi Bupati ini dipicu naiknya tren kasus DBD di tahun 2014
dibandingkan tahun 2013. Hingga bulan April 2014 penderita sudah mencapai 192
orang dengan 8 kasus kematian. Sementara, pada periode yang sama tahun
sebelumnya (2013), penderita berjumlah 118 orang dengan 7 kasus kematian.
Akhirnya, pemerintah daerah tidak hanya membuat surat edaran seperti pada tahun
sebelumnya, namun kali ini berupa instruksi, perintah langsung dari Bupati
kepada seluruh camat dan OPD untuk melakukan PSN di rumah maupun di lingkungan
fasilitas umum dan kantor.
Surat edaran nomor 440/04/0252
tahun 2016 tentang kewaspadaan dini penyakit DBD
Pada surat edaran tahun 2016 ini kembali
bupati Tegal menghimbau seluruh lapisan masyarakat untuk melakukan giat PSN di
rumah dan fasilitas umum, mengingat pada tahun sebelumnya terjadi 422 kasus DBD
dengan 12 kematian. Bupati Tegal juga menghimbau untuk meningkatkan kewaspadaan
penyakit DBD di masyarakat dan segera melaporkan ke petugas kesehatan jika ada
yang terjangkit.
Surat keputusan Bupati Tegal
nomor 605/2017 tentang kelompok kerja operasional penanggulangan DBD
Penyakit Demam Berdarah ( DBD ) merupakan salah satu penyakit yang
berbahaya dan masih menjadi masalah
kesehatan masyarakat yang perlu mendapat perhatian kita semua. Penyakit ini
merupakan penyakit menular yang bisa menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB) dan kematian yang disebabkan oleh virus
dangue yang ditularkan oleh gigitan nyamuk “ aedes aegipty “. Sampai saat ini belum ada obat, sedangkan vaksin yang
sudah ditemukan belum efektif untuk digunakan secara massal.
Beberapa
faktor yang menyebabkan peningkatan kasus DBD diantaranya : perubahan iklim dan
lingkungan seperti meningkatnya curah hujan, musim penghujan yang tidak
menentu, pemanasan global yang berdampak pada meningkatnya tempat perindukan
nyamuk sehingga meningkatkan penularan DBD. Dan faktor yang paling utama adalah
kurangnya kesadaran masyarakat untuk melaksanakan Pemberantasan Sarang Nyamuk
(PSN) DBD di dalam rumah dan lingkungannya serta belum optimalnya peran sektor
terkait untuk melaksanakan PSN di lingkungannya masing-masing.
Situasi kasus DBD di
Kabupaten Tegal pada tahun 2017 terjadi
penurunan yang signifikan dibandingkan tahun 2016. Jumlah kasus DBD sampai
dengan Nopember 2017 ada 233 kasus dengan kematian 3 anak, sedangkan jumlah
kasus DBD tahun 2016 berjumlah 610 kasus dengan kematian 18 anak (3%). Jumlah desa endemis DBD ada 98 desa atau 43%
dari seluruh desa di Kabupaten Tegal.
Pencegahan dan penanggulangan DBD melalui
pemberdayaan masyarakat merupakan langkah cerdas dan hemat biaya. Keberhasilan
pencegahan dan pengendalian penyakit DBD sangat
ditentukan oleh kemitraan antar pemerintah dan anggota masyarakat. Untuk itu
perlu dibentuk Kelompok
Kerja Operasional (POKJANAL) DBD disetiap tingkat
administrasi yaitu Kabupaten, Kecamatan dan Desa. Hal
ini bertujuan adalah agar pencegahan dan penanggulangan penyakit DBD dapat terkoordinasikan
dengan Dinas / Instansi / Lembaga kemasyrakatan terkait sehingga seluruh
lapisan masyarakat berperan aktif dalam pelaksanaan pemberantasan sarang nyamuk
terutama dengan cara 3 M plus (Menguras, Menutup, dan Mendaur Ulang barang
bekas).
Dengan demikian diharapkan masyarakat akan mampu
melindungi dirinya, keluarga dan lingkungannya dari penularan penyakit DBD. Melalui pembentukan POKJANAL tingkat kabupaten itu diharapkan akan ditindaklanjuti di tingkat
Kecamatan dan desa, khususnya yang endemis DBD untuk segera
membentuk Pokjanal DBD tingkat kecamatan dan desa sebagai
wadah pemberdayaan masyarakat sehingga masyarakat
mengerti dan berperan aktif dalam kegiatan pemberantasan sarang nyamuk dengan
cara 3 M Plus dan tercipta Gerakan 1 Rumah 1 Juru Pemantau Jentik.
Instruksi Bupati Tegal nomor
443.4/05/986 tahun 2019 tentang gerakan serentak pencegahan dan pengendalian
penyakit DBD.
Pada tahun 2018 jumlah kasus DBD kabupaten Tegal dan nasional memang
sedang mengalami penurunan tren. Data menunjukan
angka kejadian DBD di tahun 2018 hanya 4,6 penderita per 100.000 penduduk.
Sungguh ini adalah jumlah terendah
selama 14 tahun terakhir. Namun pada tahun 2019 tren kasus penyakit DBD
mulai merangkak naik lagi. Antisipasi perlu dilakukan untuk menghadapi tren 5
tahunan.
Air hujan
dapat menggenang di berbagai tempat di sekitar rumah kita. Pemberantasan Sarang
Nyamuk (PSN) dengan 3 M plus jelas merupakan pencegahan terbaik yang dilakukan
sebelum ada kasus, agar bisa meminimalkan dilakukannya fogging/ pengasapan
dengan insektisida yang
sejatinya berbahaya bagi manusia, hewan
peliharaan, dan lingkungan.
Penyakit ini
berpotensi menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB), bahkan kematian. Pada musim
hujan, biasanya di awal dan akhir tahun, diperlukan pencegahan dan pengendalian
penyakit ini. Maka Bupati Tegal menginstruksikan kepada semua kepala OPD,
Camat, dan Kepala Desa/ Lurah, terutama daerah endemis/ sporadis untuk serentak
melakukan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN).
Desa endemis
adalah desa yang selama 3 tahun berturut-turut terdapat kasus DBD. Desa
sporadis adalah desa yang dalam 3 tahun terakhir ada kasus DBD meskipun tidak
berturut-turut tiap tahunnya. Total desa endemis di Kabupaten Tegal tahun 2018
ada 21 desa, dan desa sporadis sejumlah 197 desa. Sisanya disebut desa
potensial DBD.
PSN yang
diinstruksikan disini adalah melalui 3M plus, menguras bak mandi, menutup
tempat penampungan air dan mendaurulang barang bekas yang bisa menampung air
hujan. Ditambah dengan kegiatan mencegah gigitan nyamuk seperti memelihara ikan
pemakan jentik, memakai kelambu/ repelent anti nyamuk, mengurangi gantungan
baju, menyediakan cahaya dan udara yang cukup dalam rumah untuk mengurangi
kelembaban, memakai perangkap nyamuk (ovitrap/ larvitrap), dsb.
Bupati juga
menginstruksikan penyuluhan intensif pada masyarakt agar bisa bersama-sama
melakukan PSN. Masyarakat diharapkan aktif menjadi pemantau jentik di rumahnya
masing-masing. Gerakan 1 rumah 1 jumantik dapat memberdayakan masyarakat untuk
memantau kontainer (tempat air) yang ada di rumah masing-masing. Sehingga
masyarakat bertanggung jawab atas lingkungannya sendiri. Tidak mungkin
masyarakat melempar tanggungjawab kebersihan dan kesehatan lingkungannya kepada
petugas kesehatan.
Bupati juga
menginstuksikan agar semua pihak bisa melakukan kewaspadaan dini. Jika terdapat
laporan / rumor kasus DBD, dapat segera membawanya ke fasilitas kesehatan
terdekat untuk diberi pertolongan. Camat di wilayah endemis juga diinstruksikan
membentuk Pojnakal DBD (kelompok kerja nasional) penyakit DBD. Untuk
pelaksanaan fogging sebagai tatalaksana kasus DBD di lapangan, dilakukan secara
selektif sesuai indikasi, berdasarkan hasil penyelidikan epidemiologi di
lapangan.
3.
Masalah yang
ditemukan
Sebenarnya telah banyak upaya yang telah
di lakukan pemerintah. Sejak puluhan tahun silam kita sudah sering mengadakan
sosialisasi. Ada pula inovasi seperti Jumantik, Siswantik, Pemantauan Jentik Berkala (PJB). Gerakan Jumantik (Juru Pemantau Jentik) adalah pemantauan Jentik
yang dilakukan oleh kader. Teknisnya, kader memeriksa kontainer (tempat
penampungan air) yang ada di dalam rumah dan luar rumah penduduk. Kegiatan ini
kadang dilakukan sesekali dan tidak berkelanjutan.
Ada pula Siswantik (Siswa Pemantau
Jentik), teknis pelaksanaannya sama seperti Jumantik hanya saja Jumantiknya
adalah siswa, baik anak SD, maupun gerakan-gerakan kepanduan kesiswaan seperti
Pramuka Saka Bakti Husada. Mereka biasanya ditugaskan untuk memeriksa kontainer
lingkungan sekolah dan sekitarnya. Untuk menjamin keberlangsungan Angka Bebas
Jentik (ABJ) sesuai standar, yakni >95%, maka ada istilah Pemantauan Jentik Berkala (PJB). Artinya,
Pemantauan jentik yang dilakukan kader maupun siswa tadi dilakukan secara berkala, berkelanjutan.
Namun, fungsi pemberdayaan dan peran serta
masyarakat untuk hidup sehat dinilai kurang dengan program ini. Karena masyarakat menjadi tergantung kehadiran jumantik, hanya untuk menguras bak mandi
mereka sendiri saja harus didatangi oleh jumantik. Kemandirian
dan tanggungjawab terhadap kesehatan masyarakat sendiri harus dimunculkan.
Pemberdayaan kesehatan masyarakat harus mengkondisikan masyarakat untuk
mempunyai kekuatan, peran, kendali dalam mewujudkan lingkungan yang sehat
secara mandiri.
Kini, Kementerian Kesehatan memunculkan
gerakan "Jumantik Rumah Tangga atau Gerakan satu rumah satu Jumantik". Ini
adalah peran serta dan pemberdayaan masyarakat dengan melibatkan
setiap keluarga dalam pemeriksaan, pemantauan dan pemberantasan jentik nyamuk
untuk pengendalian penyakit tular vektor khususnya DBD melalui pembudayaan PSN
3M PLUS. Sampai dengan saat ini, gerakan ini terbukti efektif dan
direkomendasikan Kemenkes RI secara Nasional.
Tentang Gerakan
1 Rumah 1 Jumantik
Untuk
melaksanakan program ini kita perlu mengenal istilah-istilah sbb:
a. Jumantik adalah orang yang melakukan
pemeriksaan, pemantauan dan pemberantasan jentik nyamuk khususnya Aedes aegypti
dan Aedes albopictus.
b.
Jumantik
Rumah adalah kepala keluarga /
anggota keluarga / penghuni dalam satu rumah yang disepakati untuk melaksanakan
kegiatan pemantauan jentik di rumahnya. Kepala Keluarga sebagai penanggung
jawab Jumantik Rumah.
c. Jumantik Lingkungan adalah satu
atau lebih petugas yang ditunjuk oleh pengelola tempat – tempat umum (TTU) atau
tempat – tempat institusi (TTI) untuk melaksanakan pemantauan jentik di:
* TTI : Perkantoran,
sekolah, rumah sakit.
* TTU : Pasar,
terminal, pelabuhan, bandara, stasiun, tempat ibadah, tempat pemakaman/
wisata.
Tugas Jumantik rumah/ lingkungan adalah mensosialisasikan PSN 3 M
plus kepada anggota keluarganya/ lingkungan, memeriksa tempat penampungan air
yang ada di dalam /luar rumah/ lingkungan, mengajak anggota keluarga/
instansi/lingkungannya melakukan PSN dan mencatat hasil PSN di kartu jentik.
d.
Koordinator
Jumantik adalah satu atau lebih
jumantik/kader yang ditunjuk oleh Ketua RT untuk melakukan pemantauan dan
pembinaan pelaksanaan jumantik rumah dan jumantik tingkat RT (crosscheck).
Tugas koordinator Jumantik adalah sosialisasi PSN 3M plus kepada
kelompok, membina Jumantik rumah/instansi (maksimal 10 jumantik), menggerakan
masyarakat untuk PSN, melakukan pembinaan dan kunjungan ke jumantik yang telah
direncanakan jadwalnya 2 minggu
sekali, melaporkan ke supervisor 1 bulan sekali.
e.
Supervisor
Jumantik adalah satu atau lebih anggota
dari Pokja DBD atau orang yang ditunjuk oleh Ketua RW/Kepala Desa/Lurah untuk
melakukan pengolahan data dan pemantauan pelaksanaan jumantik di tingkat RW/
Desa.
Tugas supervisor adalah membina
Koordinator Jumantik, merekap data ABJ (Angka Bebas Jentik) dan melaporkan ke
Puskesmas sebulan sekali.
Pihak Puskesmas bertugas merekap data dari supervisor dan melaporkannya ke
Dinkes sebulan sekali, membina Supervisor dan koordinator, serta koordinasi
lintas sektoral untuk pembinaan.
Untuk dapat melaksanakan gerakan satu rumah satu
jumantik ini dibutuhkan pendukung operasional seperti:
a.
Dana
Dana bisa didapat dari anggaran Dana Desa, APBD, BOK, dll berupa transport/ insentif/ honor koordinator/ supervisor jika diperlukan. Bisa dianggarkan pula biaya untuk pertemuan sosialisasi, pembinaan, monev.
b.
Formulir
Cetak kartu pemantauan jentik yang harus ditempel di rumah/ lingkungan instansi, lebih praktis bisa berupa stiker. Lengkapi pula dengan cetak formulir rekapan koordinator dan laporan supervisor, Leaflet penyuluhan DBD, dsb.
c.
Kit/
peralatan
Senter, topi, tas, rompi /seragam, alat tulis, plastik untuk
abatte.
Gerakan ini sangat bagus untuk diimplementasikan, hanya saja di Kabupaten Tegal pemerintahan daerah belum
mempunyai kebijakan tertulis untuk mendukung operasional gerakan ini agar bisa dijalankan secara
serempak, dan didukung oleh berbagai pihak.
4.
Rekomendasi
Meskipun sudah ada petunjuk keknis implementasi PSN 3M-PLUS dengan Gerakan satu rumah satu Jumantik yang disusun oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, melalui Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik tahun 2017, namun untuk teknis operasional di daerah membutuhkan sebuah kebijakan tertulis tersendiri. Rekomendasi dari telaah ini adalah perlu dilakukan perumusan dan usulan sebuah kebijakan yang bersifat anjuran atau perintah operasional praksis implementatif tentang gerakan satu rumah satu jumantik.