Audio Bumper

Sunday, November 21, 2021

Target Penemuan Kasus Baru Kusta 2022

Masih di tengah kondisi pandemi Covid-19, program kusta tetap berjalan agar tidak menjadi terabaikan. Dengan memanfaatkan celah waktu dan tenaga yang ada dari kesibukan vaksinasi yang terus ditarget untuk menuju herd immunity Kabupaten Tegal. Untuk penemuan kasus baru kusta di tahun 2022, Kabupaten Tegal menarget CDR 11,5 per 100 ribu penduduk. Yakni jatuh pada angka 184 kasus baru.   

Maka dengan mengambil rata-rata penemuan kasus baru dalam 5 tahun terakhir, berikut ini target penemuan baru kusta per Puskesmas untuk tahun 2022: 


Semoga target penemuan kasus baru kusta tersebut dapat dipenuhi dan menunjukan sebuah progresivitas perbaikan program seiring dengan dilaksanakannya Kemoprofilaksis menuju eliminasi kusta Kabupaten Tegal.

Sunday, October 3, 2021

DBD elektronik, perangkat laporan DBD di Kabupaten Tegal


Pentingnya sistem informasi kesehatan, untuk mencatat, melaporkan, mendistribusikan data kesehatan . Selanjutnya dapat diorganisasikan sesuai dengan keperuntukannya. Terlebih data DBD, butuh keakuratan, keterkinian, dan kecepatan distribusi untuk pengambilan keputusan di lapangan. Mengingat DBD adalah salah satu penyakit potensial wabah yang butuh kewaspadaan dini dan respon cepat untuk menanggulangi kasus dan mengantisipasi penularan lebih lanjut.  

Dinas Kesehatan Provinis Jawa Tengah menginisiasi sebuah inovasi perangkat lunak berbasis program Microsoft Excel untuk memfasilitasi keperluan tersebut. Software "DBD elektronik", demikian mereka menyebutnya. Sebuah sistem informasi yang didesain untuk mekanisme pelaporan yang rutin, otomatis pengolahan data, lengkap, dan determinan dalam pendiagnosaan. Software ini telah direkomendasikan oleh komisi ahli DBD tingkat Provinsi Jawa Tengah. Dengan berbagai parameter klinis dan konfirmatif laboratoris, software ini mampu menyimpulkan diagnosa pasien tersebut apakah DBD, DD, DSS, ataupun bukan DBD/DD.

Kabupaten Tegal telah menerapkan DBD elektronik sejak awal tahun 2021, sebagai satu-satunya laporan yang paling lengkap dan bisa dipercaya dalam program pengendalian penyakit DBD. Dari entry-an data rekam medis penyakit Dengue di fasilitas rawat, data tersebut akan diteruskan berjenjang ke Dinas Kesehatan Kabupaten, Provinsi. Rekapitulasinya akan dilaporkan ke Kementerian Kesehatan RI. Software ini dilaporkan melalui email setiap hari Senin pada minggu berikutnya, ke alamat email: surveilanstegal@yahoo.co.id. Tentunya prosedur pengisian dan penulisan datanya secara teknis memiliki aturan yang perlu pahami dan disepakati oleh petugas rekam medis agar terjadi kesamaan persepsi. 
 
Misalnya dalam hal mengisi kolom gejala klinis. Petugas rekam medis harus mengetahui berapa kadar protein albumin dalam darah pasien, sehingga disebut hipoalbuminemia, Berapa ukuran tekanan darah pasien sehigga masuk kategori hipotensi. Berapa jumlah nadi pasien dalam satu menitnya sehingga masuk kategori nadi cepat. Kecermatan dalam hal ini penting karena data yang dimasukkan akan mempengaruhi algoritma pendiagnosaan yang telah dirumuskan. Kekeliruan entry data akan berimbas pada rekomendasi kekeliruan diagnosa. Sehingga pasien yang didiagnosa oleh dokter penanggungjawab sebagai DD, bisa jadi software menyimpulkannya berbeda. Problematika keakuratan data ini akan mengakibatkan rusaknya validitas data hingga ke pusat (Kemenkes). 

Untuk itu Dinas Kesehatan Kabupaten Tegal selalu rutin melakukan absensi ketepatan dan kelengkapan laporan DBD elektronik setiap minggunya. Dan melakukan validasi konfirmasi atas pengisian data tersebut. 



 

Monday, July 26, 2021

Gambaran Chikungunya di Kabupaten Tegal

Chikungunya adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus Chikungunya (CHIKV) yang ditularkan lewat gigitan nyamuk Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus. Chikungunya memiliki masa inkubasi antara 1 sampai 12 hari namun biasanya hanya berlangsung dalam 2 sampai 3 hari. Chikungunya sendiri memiliki gejala yang sama dengan demam berdarah dengue yaitu demam tinggi, sakit kepala, menggigil, mual, muntah, nyeri sendi dan otot, sakit perut, dan bintik-bintik merah pada kulit. 


Seperti yang kita tahu, Kabupaten Tegal merupakan daerah endemis DBD yang mana tidak menutup kemungkinan vektor yang berperan yaitu Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus dapat menularkan demam Chikungunya juga.

 


Berdasarkan grafik diatas, Kabupaten Tegal pada Tahun 2020 memiliki penderita Chikungunya sebanyak 242 penderita dengan 154 penderita perempuan dan 88 penderita laki-laki. Dari 29 Puskesmas d Kabupaten Tegal, 8 puskesmas melaporkan bahwa di wilayahnya memiliki kasus Chikungunya, yaitu Adiwerna, Danasari, Kaladawa, Kambangan, Lebaksiu, Kedungbanteng, Tarub, dan Kramat. Puskesmas Kaladawa menjadi penyumbang penderita Chikungunya terbanyak yaitu sejumlah 87 penderita dengan 63 penderita perempuan dan 24 merupakan penderita laki-laki.

 



Berdasarkan grafik diatas, Kabupaten Tegal pada Januari hingga Mei 2021 memiliki penderita Chikungunya sebanyak 271 penderita dengan 129 penderita laki-laki dan 142 penderita perempuan. Hingga Mei 2021, jumlah total kasus Chikungunya melebihi total kasus Chikungunya dari tahun sebelumnya. Dari 29 Puskesmas di Kabupaten Tegal, 9 puskesmas melaporkan bahwa diwilayahnya memiliki kasus Chikungunya, Kedungbanteng, Slawi, Kaladawa, Balapulang, Lebaksiu, Kambangan, Kramat, Pagiyanten dan Kalibakung. Puskesmas Balapulang menjadi penyumbang penderita Chikungunya terbanyak yaitu sejumlah 72 penderita.

Bersamaan dengan merebaknya COVID-19 di bulan Maret 2020, kasus Chikungunya di Kabupaten Tegal juga ikut merebak dimulai pada bulan April 2020. 

 



Melihat grafik diatas, penemuan kasus chikungunya pada tahun 2020 cenderung fluktuatif. Kasus paling tinggi terdapat pada bulan Juli 2020 yaitu sebanyak 62 kasus. Bulan Juli tersebut adalah peningkatan kasus terbanyak dari bulan sebelumnya, yang hanya terdapat 14 kasus. Pada bulan September, kasus chikungunya mengalami penurunan secara drastis dari Juli dengan 62 kasus menjadi 3 kasus.



Melihat grafik diatas, penemuan kasus chikungunya pada Januari hingga Mei 2021 cenderung fluktuatif. Kasus paling tinggi terdapat pada bulan April yaitu sebanyak 115 kasus. Peningkatan kasus paling tajam terjadi pada bulan April tersebut.

Incidence rate adalah frekuensi penyakit atau kasus baru yang berjangkit dalam masyarakat di suatu tempat atau wilayah atau negara pada waktu tertentu (umumnya 1 tahun) dibandingkan dengan jumlah penduduk yang mungkin terkena penyakit baru tersebut. Incidence rate kasus Chikungunya pada tahun 2020 dapat dilihat dibawah ini.


IR = Jumlah kasus baru pada periode waktu tertentu     x 100.000

                        Jumlah populasi beresiko

         242        x 100.000

         1566587

     = 15.45 ≈ 15

Artinya, dari 100.000 penduduk di Kabupaten Tegal terdapat 15 orang yang menderita chikungunya pada tahun 2020.

Untuk menekan kasus Chikungunya di Kabupaten Tegal bebas diperlukan upaya pencegahan dan pengendalian yang tepat yaitu dengan melakukan 3M Plus (menguras tempat penampungan air, menutup tempat penampungan air, mengubur barang bekas, menghindari gigitan nyamuk, tidur memakai kelambu dan memakai obat nyamuk atau lotion anti nyamuk). Upaya pengendalian penularan kasus Chikungunya dilakukan dengan melakukan fogging atau pengasapan sesuai dengan indikasi. Perlu kontribusi dari masayarakat dan pemerintah setempat agar upaya pencegahan dan pengendalian chikungunya dapat berjalan baik dan tepat sasaran. 


Ditulis oleh Fitriyah Noor Salsabila A 

(Mahasiswa FKM UNDIP, PKL Dinkes Kab. Tegal 2021)


Kros Notifikasi kasus DBD


Kasus DBD luar wilayah, apa yang harus dilakukan? Pastilah dikoordinasikan atau sering juga disebut kros notifikasi/cross notification/ notifikasi silang. Hal ini dilakukan jika terdapat kemungkinan penyebab sebagai berikut:

1. Faskes wilayah kita merawat pasien dari luar wilayah kita

2. Faskes luar wilayah merawat pasien DBD dari wilayah kita.

3. Terdapat perbedaan domisili secara administrasi dan secara fakta.

Dalam kasus pertama, misalnya RS di wilayah kita melaporkan kepada Dinas Kesehatan setempat tentang adanya kasus DBD dari luar wilayah (kabupaten). Maka yang harus dilakukan adalah Dinas Kesehatan kita melakukan kros notifikasi ke Dinas Kesehatan dimana pasien tersebut berdomisili, agar segera dilakukan Penyelidikan Epidemiologi. Namun pencatatan kasusnya tetap masuk laporan kasus Dinas Kesehatan di mana RS yang merawat berada. Kasus luar wilayah demikianakan masuk pencatatan dan rekapitulasi hingga level provinsi dalam kategori luar wilayah. Demikian pula sebaliknya, dalam kasus kedua.

Dalam kasus ketiga, administrasi rekam medis mencatat domisili pasien sesuai dengan bukti domisili resmi, seperti KTP atau KK. Maka pelaporannya pun pasti menindaklanjuti dari dokumen resmi tersebut. Namun kenyataan di lapangan, ada pasien yang domisilinya tidak sesuai dengan KTP/KK. Misalnya, ada kasus DBD pada anak yang bisa saja dia tidak tinggal bersama ayahnya, namun tinggal bersama famili lain. Atau kasus DBD orang dewasa di mana dia sudah pindah domisili namun belum memperbarui alamat pada dokumen kependudukannya. Atau sebenarnya tidak berniat pindah alamat secara permanen, hanya tinggal sementara waktu, dan saat itu dia terjangkit DBD.

Untuk kasus seperti ini laporan tetap ditujukan kepada Dinas Kesehatan dalam wilayah Rumah SAkit itu merawatnya. Lalu petugas Dinkes tersebut melaporkan kepada Dinkes di wilayah yang secara fakta pasien tersebut tinggal di sana, untuk dilakukan Penyelidikan Epidemiologi (PE). Jadi, yang bertugas melakukan PE adalah petugas setempat di mana dia tinggal secara fakta, bukan secara administratif. Karena di wilayah itulah yang sedang terjadi risiko penularan penyakit.

Kasus yang demikian tetap masuk pencatatan dan pelaporan pada Dinas Kesehatan di mana ada Rumah Sakit yang merawat pasien tersebut. Namun dalam hal penanggulangan penyakitnya, kewenangannya diserahkan petugas di mana dia tinggal dan terinfeksi. Diharapkan komunikasi kros notifikasi demikian bisa berlangsung cepat dalam tempo <24 jam, mengingat penyakit DBD merupakan penyakit potensial wabah yang harus ditangani secara cepat guna mencegah penyebaran lebih lanjut. 

Monday, July 12, 2021

Endemisitas DBD di Kabupaten Tegal tahun 2020


Demam Berdarah Dengue atau yang lebih dikenal dengan DBD sampai saat ini masih menjadi salah satu masalah kesehatan yang paling umum ditemukan di Provinsi Jawa Tengah. Hampir setiap tahunnya sebanyak 35 kabupaten di Provinsi Jawa Tengah melaporkan kasus DBD, termasuk Kabupaten Tegal.

Endemisitas DBD di Kabupaten Tegal pada tahun 2020 ditentukan dari ada atau tidaknya kasus DBD selama tiga (3) tahun terakhir, yaitu tahun 2018 – 2020. Desa – desa di wilayah kerja seluruh puskesmas di Kabupaten Tegal dikelompokkan menjadi 3 kategori, yaitu endemis, sporadis, dan potensial.

Suatu desa dikategorikan sebagai endemis apabila dalam 3 tahun berturut – turut terdapat kasus DBD. Kategori sporadis artinya suatu wilayah desa terdapat kasus DBD dalam 3 tahun terakhir tetapi tidak berturut – turut. Sementara itu, desa akan dikelompokkan ke dalam kategori potensial apabila tidak terdapat kasus DBD selama 3 tahun terakhir tetapi memiliki potensi untuk perkembangan kasus yang ditandai dengan laporan keberadaan jentik nyamuk oleh Juru Pengawas Jentik (Jumantik).

Berdasarkan laporan kasus pada tahun 2020, sebanyak 22 dari 29 wilayah puskesmas di Kabupaten Tegal masuk ke dalam kategori endemis DBD dan 7 puskesmas termasuk kategori sporadis. Dibandingkan dengan 3 tahun sebelumnya, jumlah ini sama dengan tahun 2019 dan meningkat dari tahun 2018. Pada tahun 2019, sebanyak 22 wilayah puskesmas dikategorikan endemis DBD dan 7 puskesmas dikelompokkan ke dalam sporadis. Sebanyak 20 wilayah puskesmas pada tahun 2018 endemis DBD dan 9 puskesmas lainnya sporadis DBD.

Dari 29 puskesmas, terdapat 29 desa dari total 287 desa di seluruh wilayah kerja puskesmas Kabupaten Tegal yang tergolong desa endemis DBD pada tahun 2020. Sebanyak 174 desa di antaranya tergolong sebagai desa sporadis DBD dan sisanya sebanyak 84 desa masuk ke dalam kategori desa potensial DBD. Wilayah Puskesmas Slawi merupakan wilayah dengan jumlah desa endemis DBD terbanyak, yaitu 5 desa. Kemudian diikuti oleh Puskesmas Lebaksiu dengan 3 desa endemis DBD, Puskesmas Kramat, Puskesmas Dukuhturi, Puskesmas Kedung Banteng, Puskesmas Pangkah, dan Puskesmas Margasari yang masing – masing memiliki 2 desa endemis DBD.

Masih cukup banyaknya wilayah desa di Kabupaten Tegal yang berstatus endemis DBD, serta sebagian besar wilayah yang dikategorikan sporadis DBD perlu menjadi perhatian lebih untuk meningkatkan upaya pencegahan dan pengendalian. Terlebih, wilayah – wilayah yang berpotensi menjadi tempat berkembangnya kasus DBD juga masih begitu luas. Dibutuhkan penguatan gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) di setiap lingkup terkecil wilayah kabupaten, yaitu RT atau RW. Penemuan kasus baru juga harus diupayakan sedini mungkin agar dapat mendapat penanganan lebih cepat dan mencegah dari implikasi buruk kesakitan atau kematian. Peran jumantik – jumantik di setiap desa pun perlu diperkuat.

 

Penulis: Mailan Lasagi

Mahasiswa FKM Undip. PKL Dinas Kesehatan Kabupaten Tegal, 2021

Thursday, June 24, 2021

Jumlah Penduduk Kabupaten Tegal untuk program tahun 2021


jumlah penduduk 2021 : 1.623.993

Wednesday, June 23, 2021

MODEL PENELUSURAN DALAM PEMERIKSAAN KONTAK ERAT KUSTA


Kegiatan pemeriksaan kontak erat kusta adalah penelusuran kontak erat penderita kusta dalam mendeteksi adanya kasus lain di sekitarnya. Evaluasi pada tahun 2020, sasaran kegiatan pemeriksaan kontak erat kusta adalah kontak erat pasien baru temuan tahun 2020 berjalan dan kontak erat pasien type MB lama/paska RFT yang ditemukan tahun 2014-2017.  Sengaja di sini Dinas Kesehatan Kabupaten Tegal memfokuskan pasien lama/paska RFT pada type MB saja untuk memfokuskan pada type kusta yang lebih mudah menularkan.



Dari 187 pasien kusta baru temuan tahun 2020, kontak erat yang berhasil diperiksa adalah sejumlah 2.695 orang. Artinya, rata-rata jumlah kontak erat setiap pasiennya adalah 14,4 orang. Dari situ didapatkan temuan 10 orang pasien baru (0,37%). Sementara dari 730 pasien kusta type MB lama/paska RFT, kontak erat yang berhasil diperiksa adalah 6.462 orang. Artinya, rata-rata jumlah kontak erat yang diperksa tiap pasiennya adalah 8,8 orang. Dari situ didapatkan 10 orang temuan pasien baru (0.15%)

Pasien-pasien baru hasil pemeriksaan kontak erat tersebut memiliki perbedaan makna. 10 pasien baru hasil pemeriksaan kontak erat pasien baru adalah orang terdekat mereka yang sama-sama menderita kusta dalam waktu yang sama. Sementara, 10 pasien baru temuan dari pemeriksaan kontak erat pasien kusta MB lama/paska RFT adalah orang terdekat yang tertular 2-5 tahun yang lalu dan baru menunjukkan tandanya sekarang setelah melalui masa inkubasi. Rata-rata masa inkubasi penyakit kusta adalah 2-5 tahun.

Untuk melakukan kegiatan pemeriksaan kontak erat kusta, diperlukan suatu model penyelidikan epidemiologi khususnya dalam penelusuran kontak erat siapa saja yang perlu diperiksa. Model ini bisa menjadi acuan petugas untuk bisa optimal dalam mencari kasus baru pada kontak erat penderita.


Gambar 1. Model penelusuran dalam pemeriksaan kontak erat pasien kusta baru


Dalam pemeriksaan kontak erat pasien kusta baru, misalnya pasien B adalah indeks kasus (kasus utama) temuan kusta di tahun 2020. Setelah dilakukan pemeriksaan kontak erat, ternyata di rumahnya ditemukan penderita kusta baru lagi yaitu pasien C. Dalam hal ini kita perlu menelusuri riwayat siapakah kontak erat pasien B dan C yang pernah menderita kusta 2-5 tahun ke belakang? Karena bisa jadi keduanya tertular dari sumber yang sama, misalkan A.

Namun bisa juga pasien B dan C memiliki sumber penularan yang berbeda. Bisa saja pasien B dan C meskipun sekarang tinggal satu rumah, namun 2-5 tahun yang lalu memiliki riwayat beda domisili. Misanya B tetap tinggal di rumah asli domisili, sementara pasien C 3 tahun yang lalu pernah merantau bekerja di luar kota. Maka pasti keduanya memiliki perbedaan kontak erat. Atau meskipun pasien B dan C tinggal serumah dari dulu, tetap mereka memiliki perbedaan keterpaparan kontak sosial karena perbedaan relasi pergaulan, teman permainan, hubungan kerja, dsb. Bisa jadi pasien B tertular dari A, sementara pasien C tertular dari D. Penelusuran kemungkinan sumber penularan ini penting untuk diketahui lebih lanjut adakah kontak erat lain dari A dan D yang sekarang bergejala.Yang sering jadi masalah dalam pemeriksan kontak erat pasien baru adalah jika 2-5 tahun yang lalu penderita tinggal di luar kota. Apakah bisa kita menelusuri kemungkinan siapa penularnya dulu dan apakah ada tanda kusta dari kontak erat dari si penular tersebut sekarang?

Sementara dalam model penyelidikan epidemiologi pemeriksaan kontak erat pasien kusta lama/paska RFT, misalnya indeks kasusnya adalah B yang ditemukan 2-5 tahun ke belakang. Kita melakukan pemeriksaan pada kontak erat pasien B ini dengan terlebih dulu melihat riwayat berapa bulan bercak pasien B ini dulu ditemukan. Jika bercaknya lebih dari 3 bulan, sebelum pengobatan maka ada kemungkinan dulu dia sudah menularkan pada kontak eratnya. Selidiki siapa saja yang menjadi kontak eratnya pada saat mulai munculnya bercak hingga pasien B ini mendapatkan obat MDT. Lihat, apakah sekarang mereka memiliki tanda kusta.


Gambar 2. Model penelusuran dalam pemeriksaan kontak erat pasien kusta lama/paska RFT


Mungkin dulu saat pasien B ditemukan 2-5 tahun yang lalu sudah dilakukan pemeriksaan kontak eratnya. Namun masa inkubasi yang lama hanya memungkinkan pihak yang tertular dari pasien B ini memunculkan tanda gejalanya 2-5 tahun setelahnya. Itulah mengapa pemeriksaan kontak erat pasien lama/paska RFT harus dilakukan rutin 2-5 tahun setelah indeks kasus tersebut ditemukan. Yang kadang jadi soal dalam pemeriksaan kontak erat pasien lama/paska RFT adalah penelusuran pada kontak eratnya yang dulu tinggal bersama pasien B, namun sekarang dia tinggal jauh dari domisili pasien B tersebut. Apakah bisa kita menelusuri tanda kusta pada dia?

Demikian pola-pola kemungkinan penularan yang bisa terjadi dan perlu ditelusuri pada sebuah penyelidikan epidemiologi selama pemeriksaan kontak erat kusta, baik pasien temuan baru maupun pasien lama/paska RFT. Dengan penyelidikan yang intensif melalui berbagai relasi kontak tersebut memungkinkan hasil yang efektif berupa penemuan kasus baru, dan deteksi lebih dini.


Ditulis oleh: Bagus Johan Maulana, SKM. Wasor kusta Kabupaten Tegal

Referensi: Permenkes RI Nomor 11 tahun 2019 tentang Penanggulangan Kusta. 

Wednesday, June 16, 2021

SILANTOR: Sistem Informasi Surveilans dan Vektor

Bagaimana memantau keberadaan vektor penyakit di sekitar kita? Sebuah sistem informatika dibuat oleh Kementerian Kesehatan RI, bernama "SILANTOR" (Sistem Informasi Surveilans dan Vektor). Salah satu kegunaan sistem ini adalah untuk memetakan keberadaan dan situasi vektor nyamuk penyebab Demam Berdarah. Angka Bebas Jentik (ABJ) yang selama ini menjadi salah satu indikator kinerja DBD di Puskesmas akan bisa dipantau dalam sistem informasi ini. ABJ adalah prosentase rumah yang bebas jentik di antara rumah yang diperiksa. Standar ABJ adalah lebih dari 95%, yang menandakan bahwa lingkungan tersebut beresiko atau tidak untuk terjadinya penularan kasus Demam Berdarah dilihat dari keberadaan jentik nyamuk penular DBD di situ. ABJ bisa didapatkan dari kegiatan Penyelidikan Epidemiologi (PE), pemeriksaan jentik berkala oleh petugas/kader, inspeksi sanitasi lingkungan (program kesling), pendataan PHBS dan Survey Mawas Diri (program Promkes).




    
Dengan mengundang narasumber dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, Kamis, 20 Mei 2021, bertempat di Koperasi Bhakti Husada Slawi, sejumlah 29 petugas program DBD Puskesmas di wilayah Kabupaten tegal menerima sosialisasi SILANTOR tersebut. Sistem ini beroperasi menggunakan jaringan internet. Keberadaan vektor nyamuk penular DBD/malaria dilaporkan setiap bulannya. Dari sistem ini kita bisa mendapatkan hasil keluaran berupa mapping vektor, ABJ, dan grafik dalam bentuk PDF atau tampilan web.





Untuk masuk ke sistem ini, petugas Puskesmas bisa menuju ke www.silantor.kemkes.go.id lalu memasukkan ID dan password yang telah disediakan. Pertama kali yang perlu dilakukan adalah mengedit master data. Berupa nama desa dalam wilayah Puskesmas tersebut, beserta ordinat GPS-nya. Menu tersebut ada pada "Master data", "Wilayah Kerja Puskesmas". Untuk menambahkan ordinat posisi GPS (Latitude, Longitude), petugas bisa mencarinya di https://www.google.co.id/maps. Petugas bisa mencari titik penanda GPS tiap desa dengan mencari balai desanya. Klik kanan pada point balai desanya, pilih "Ada apa di sini?" akan muncul ordinat Latitude (Utara, dengan angka negatif), dan ordinat Longitude (Barat). Angka ordinat inilah yang di-copy-kan ke sistem SILANTOR agar dapat membentuk mapping.



Untuk proses pengumpulan data, sebenarnya bisa dilakukan dengan offline maupun online. Secara online, dapat melaluji menu "Tambah data", di sini petugas bisa mengisi data tanggal berapa, desa mana, jumlah rumah yang diperiksa, jumlah rumah yang positif jentik. Lalu tekan "Submit" untuk entry data. Dari data inilah akan bisa dipantau ABJ tiap desa, Puskesmas dan Kabupaten. Semoga dengan adanya sistem ini, akan membantu program pencegahan dan pengendalian DBD di Kabupaten Tegal.

Petunjuk manual SILANTOR ada disini: https://app.box.com/s/9mrm7op8svx8g0d0beqibgdzfqkrszaa

Tuesday, June 15, 2021

Putaran I POPM Kecacingan tahun 2021



Kabupaten Tegal ditetapkan menjadi daerah intervensi Stunting tahun 2021 ini. Dan untuk itu, pelaksanaan Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) kecacingan dilaksanakan 2 kali dalam setahun, dengan interval 6 bulan. Yakni bukan Februari dan Agustus 2021 bersamaan dengan pemberian vitamin A.

Periode pertama POPM Kecacingan bulan Februari di Kabupaten Tegal sukses dengan cakupan 99.72%. Dalam masa pandemi seperti ini, perlu strategi khusus dalam pemberian obat cacing dengan penerapan protokol kesehatan dan pendelegasian tugas. Untuk sasaran anak usia PAUD, TK dan SD diberikan saat pelajar memberikan tugas ke sekolah, mengambil buku paket atau proses administrasi sekolahan. Obat cacing dititipkan melalui gurunya. Untuk sasaran pra sekolah, obat cacing bisa dititipkan melalui kader posyandu. 

Obat cacing Albendazole 400 mg untuk keperluan POPM periode I kemarin telah didistribusikan sejak bulan Januari 2021 sejumlah 314.500 tablet. Maka di Gudang Farmasi Kabupaten Tegal kini masih tersisa 63.680 tablet untuk persediaan mendatang. Adapun obat cacing sisa dari kegiatan POPM ini dapat digunakan Puskesmas untuk program rutin pengobatan dan pencegahan kecacingan.    

Untuk persiapan kegiatan POPM putaran II (Agustus 2021), Dinas Kesehatan akan mendistribusikan obat cacing Albendazole 400mg sebanyak 305.947 tablet untuk sasaran sejumlah 293.961 anak kepada Puskesmas di wilayah Kabupaten Tegal pada bulan Juni ini. 

Kegiatan POPM Kecacingan setahun 2 kali ini akan terus dilaksanakan dalam rangka intervensi Stunting di Kabupaten Tegal. Semoga secara bermakna bisa mencegah kecacingan dan menurunkan angka stunting sehingga akan tercipta generasi penerus yang sehat, berprestasi dan produktif.




Thursday, May 6, 2021

Dukungan NLR untuk pengendalian Kusta di Kabupaten Tegal

NLR (Netherland Leprosy Relief) adalah sebuah NGO (Non Government Organization) asal Belanda yang berfokus membantu pengendalian penyakit kusta di dunia. Berawal dari saat dokter Dick Leiker asal Belanda yang bertugas menangani kusta di Indonesia pada tahun 1949-1957. Lalu dia melihat banyaknya penderita kusta di Indonesia yang butuh penanganan serius. Dari gagasannya itu dia membuat NLR untuk membantu menangani penyakit kusta di negara-negara endemis di dunia. NLR berkiprah di India, Brazil, Nepal, Mozambik, Indonesia dengan visinya "Hingga bebas dari kusta".  NLR menggunakan 3 pendekatan, yaitu ZERO three: Zero Transmisi, Disabilitas dan Eksklusi. Artinya tidak ada lagi penularan, cacat, dan stigma kusta. Pada tahun 2018, ada 208.619 kasus kusta baru di dunia. Top 3 ranking di dunia adalah negara India, Brazil dan Indonesia. 

Indonesia sendiri sudah mencapai tahap eliminasi (angka prevalensi kurang dari 1 per 10.000 penduduk) pada tahun 2000. Provinsi Jawa Tengah telah mencapai eliminasi kusta pada tahun 2018 dimana prevalensi rate Jawa Tengah per Desember 2019 sebesar 0.46 per 10.000 penduduk, akan tetapi tahun 2021 masih ada 4 kabupaten dari 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah yang belum mencapai eliminasi yakni Kabupaten Brebes, Pemalang, Tegal, Kota Pekalongan.




Dukungan NGO seperti NLR sangat berarti untuk membantu permasalahan kusta di Kabupaten Tegal, dimana angka prevalensi belum mencapai indikator targetnya, proporsi cacat tingkat II masih lebih dari 10 persen. Kabupaten Tegal juga memiliki proporsi kusta pada anak lebih dari 5 persen, bahkan di tahun 2020 menanjak hingga 15%. RFT rate atau angka kepatuhan berobat kusta juga seringkali kurang dari 90 persen. Sementara masih ada 12 petugas Puskesmas yang belum terlatih secara kurikulum penuh. Dan, keterbatasan anggaran untuk program kusta terkait adanya refokusing anggaran untuk pandemi covid-19.   

NLR selama ini memberikan dukungan untuk pencegahan dan pengendalian kusta di Kabupaten Tegal. Berupa konsultasi program dan klinis, dukungan logistik untuk kegiatan kemoprofilaksis, dukungan dana untuk pelatihan, pertemuan koordinasi, On The Job training (OJT), kegiatan supervisi, bimbingan pelatihan dan keterampilan, serta advokasi kebijakan.

Harapan ke depannya NLR bisa terus mendukung pengendalian kusta di Kabupaten Tegal untuk mengawal menuju eliminasi kusta yang ditarget akan tercapai di tahun 2023. Dukungan tersebut diharapkan dapat berkembang dalam bentuk pelatihan pemeriksaan BTA bagi tenaga analis kesehatan Puskesmas, dukungan untuk keberlangsungan kemoprofilaksis, dan riset-riset untuk menggali permasalahan kusta yang esensial di Kabupaten Tegal.

Sunday, March 21, 2021

KEBIJAKAN-KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN TEGAL DALAM PROGRAM PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE DI KABUPATEN TEGAL


1.      Latar belakang

     Kabupaten Tegal merupakan bagian dari wilayah Provinsi Jawa Tengah dengan luas daratan sebesar 87.878,56 ha dan luas lautan sebesar 121,50 km2. Terbagi dalam 18 kecamatan dan 287 desa/kelurahan. Sedangkan sarana kesehatan yang ada terdiri dari 9 Rumah Sakit (3 RS pemerintah dan 6 RS Swasta), 29 Puskesmas semuanya Puskesmas Rawat Inap (mampu persalinan dan PONED), Puskesmas Pembantu sebanyak 64 buah dan Poliklinik Kesehatan Desa (PKD) sebanyak 211 buah. Kabupaten Tegal terletak antara : 108º 57 6′′  -  109º 21′ 30″ Bujur Timur dan 6º 50′ 41′′  -   7º 15′ 30″   Lintang Selatan dengan batas-batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan Kota Tegal dan Laut Jawa, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Pemalang, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Brebes dan Banyumas dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Brebes.

Undang-Undang RI. Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Pasal 157 ayat (3) menyebutkan bahwa penyakit menular masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang menimbulkan kesakitan, kematian, dan kecacatan yang tinggi sehingga perlu dilakukan penyelenggaraan penanggulangan melalui upaya pencegahan dan pengendalian yang efektif dan efisien.

Salah satu yang menjadi perhatian dalam pengendalian penyakit menular di Kabupaten Tegal adalah kasus DBD (Demam Berdarah Dengue). Situasi kasus DBD di Kabupaten Tegal pada tahun 2019 terjadi kenaikan yang signifikan dibandingkan tahun 2018. Jumlah kasus DBD tahun 2019 ada 370 kasus dengan kematian 3 anak, sedangkan jumlah kasus DBD tahun 2018 berjumlah 77 kasus dengan kematian 1 anak. Jumlah desa endemis DBD kini sebanyak 21 desa atau 7,3 % dari seluruh desa  di Kabupaten Tegal.

Upaya pengendalian DBD di Indonesia bertumpu pada 7 kegiatan pokok yang tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan nomor 581/MENKES/SK/VII/1992 tentang Pemberantasan Demam Berdarah Dengue (DBD). Salah satu prioritas utama yaitu ditekankan pada upaya pencegahan melalui pemberdayaan dan peran serta masyarakat.

Upaya pencegahan dan pengendalian DBD di Kabupaten Tegal mempunyai tujuan diantaranya untuk:

a.       Meningkatkan upaya promotif dan preventif yang ditujukan untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit DBD;

b.      Membatasi penularan serta penyebaran penyakit DBD adar tidak meluas serta berpotensi menimbulkan Kejadian Luar Biasa atau wabah.

c.       Mampu mendiagnosa penyakit DBD lebih dini.

d.      Mengendalikan vektor penyakit DBD.

 Indikator pencegahan dan pengendalian penyakit DBD adalah sebagai berikut :

a.       Terlaksananya upaya pencegahan penyakit DBD yang dilakukan melalui kegiatan promosi kesehatan, kegiatan pemantauan jentik berkala, meningkatnya ABJ (Angka Bebas Jentik), surveilans kesehatan, pengendalian faktor resiko.

b.      Terlaksananya pengendalian penyakit DBD dengan kegiatan penemuan penderita di fasilitas pelayanan kesehatan, pendiagnosaan DBD lebih dini, penyelidikan epidemiologi, tata laksana kasus di lapangan dengan respon cepat.


Untuk mengakomodir semua itu peran pemerintah daerah adalah membuat regulasi, peraturan kebijakan di levelnya yang dapat berperan untuk mengorganisasikan elemen yang ada, memerintahkan kebijakan yang ada, dan mengkontrol aksi agar dapat mencapai tujuan pengendalian penyakit DBD. Kebijakan yang dibakukan tersebut dapat mengalokasikan sumber-sumber daya yang ada untuk dapat diberdayakan, dikolaborasikan, diarahkan, difokuskan untuk mencegah dan mengendaikan penyakit DBD di Kabupaten Tegal.

 

Bagaimana upaya penanggulangan DBD ini dapat diefektifkan dengan berbagai peraturan kebijakan maupun instruksi resmi dari pemangku kebijakan daerah, sehingga pemerintah daerah andil secara langsung dalam menggerakan semua komponen yang ada di masyarakat untuk bersama mencegah dan menanggulangi sebagai wujud tanggung jawab bersama. 

2.      Upaya yang telah dilakukan

 Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah daerah Kabupaten Tegal dalam membuat peraturan kebijakan secara tertulis mulai dari surat edaran, hingga surat keputusan bupati. Berikut inilah peraturan kebijakan tersebut.

a.       Surat edaran nomor 443.4/1086 tahun 2013 tentang gerakan pemberantasan  sarang nyamuk DBD

b.      Instruksi Bupati nomor 440/04/1472 tahun 2014 tentang gerakan pemberantasan sarang nyamuk DBD

c.       Surat edaran nomor 440/04/0252 tahun 2016 tentang kewaspadaan dini penyakit DBD

d.      Surat keputusan Bupati Tegal nomor 605/2017 tentang kelompok kerja operasional penanggulangan DBD

e.       Instruksi Bupati Tegal nomor 443.4/05/986 tahun 2019 tentang gerakan serentak pencegahan dan pengendalian penyakit DBD.

f.    Surat edaran bupati tentang kewaspadaan dini penyakit demam berdarah nomor 440/323/2022 

g.     Surat Edaran Bupati Tentang Kewaspadaan Dini Penyakit Demam Berdarah Dengue nomor 400.7.7.1/B.65



Surat Edaran Bupati Tentang Kewaspadaan Dini Penyakit Demam Berdarah Dengue nomor 400.7.7.1/B.65

            Surat ini dipicu kenaikan kasus DBD dari awal tahun 2024, sehingga Kabupaten Tegal harus                 bersikap waspada untuk mengantisipasinya.



Surat edaran bupati tentang kewaspadaan dini penyakit demam berdarah 440/323/2022

Surat edaran ini dibuat karena terjadi kenaikan kasus DBD hingga 2x lipat lebih sampai dengan bulan Juni 2022 dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya. Oleh sebab itu, bupati memberikan surat eadran kepada lintas sektoral, semua OPD, organisasi masyarakat untuk berperan aktif pencegahan dan pengendalian penyakit DBD di masyarakat.

  





Surat edaran nomor 443.4/1086 tahun 2013 tentang gerakan pemberantasan  sarang nyamuk DBD

Surat edaran ini dibuat kala itu dengan mendasari konteks naiknya tren kasus DBD di tahun 2013. Hingga pada minggu kedua bulan April saja, kasus DBd sudah mencapai 90 penderita dengan 7 kematian. Surat edaran itu diedarkan ke seluruh OPD (Organisasi Perangkat Dinas) untuk melakukan tindakan pencegahan dengan gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) secara serentak setiap minggunya.





Instruksi Bupati nomor 440/04/1472 tahun 2014 tentang gerakan pemberantasan sarang nyamuk DBD

Instruksi Bupati ini dipicu naiknya tren kasus DBD di tahun 2014 dibandingkan tahun 2013. Hingga bulan April 2014 penderita sudah mencapai 192 orang dengan 8 kasus kematian. Sementara, pada periode yang sama tahun sebelumnya (2013), penderita berjumlah 118 orang dengan 7 kasus kematian. Akhirnya, pemerintah daerah tidak hanya membuat surat edaran seperti pada tahun sebelumnya, namun kali ini berupa instruksi, perintah langsung dari Bupati kepada seluruh camat dan OPD untuk melakukan PSN di rumah maupun di lingkungan fasilitas umum dan kantor.



 

Surat edaran nomor 440/04/0252 tahun 2016 tentang kewaspadaan dini penyakit DBD

Pada surat edaran tahun 2016 ini kembali bupati Tegal menghimbau seluruh lapisan masyarakat untuk melakukan giat PSN di rumah dan fasilitas umum, mengingat pada tahun sebelumnya terjadi 422 kasus DBD dengan 12 kematian. Bupati Tegal juga menghimbau untuk meningkatkan kewaspadaan penyakit DBD di masyarakat dan segera melaporkan ke petugas kesehatan jika ada yang terjangkit.

 



Surat keputusan Bupati Tegal nomor 605/2017 tentang kelompok kerja operasional penanggulangan DBD

 

Penyakit Demam Berdarah ( DBD ) merupakan salah satu penyakit yang berbahaya dan masih menjadi  masalah kesehatan masyarakat yang perlu mendapat perhatian kita semua. Penyakit ini merupakan penyakit menular yang bisa menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB)  dan kematian yang disebabkan oleh virus dangue yang ditularkan oleh gigitan nyamuk “ aedes aegipty “. Sampai saat ini belum ada obat, sedangkan vaksin yang sudah ditemukan belum efektif untuk digunakan secara massal.

Beberapa faktor yang menyebabkan peningkatan kasus DBD diantaranya : perubahan iklim dan lingkungan seperti meningkatnya curah hujan, musim penghujan yang tidak menentu, pemanasan global yang berdampak pada meningkatnya tempat perindukan nyamuk sehingga meningkatkan penularan DBD. Dan faktor yang paling utama adalah kurangnya kesadaran masyarakat untuk melaksanakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) DBD di dalam rumah dan lingkungannya serta belum optimalnya peran sektor terkait untuk melaksanakan PSN di lingkungannya masing-masing.

Situasi kasus DBD di Kabupaten Tegal pada tahun 2017 terjadi penurunan yang signifikan dibandingkan tahun 2016. Jumlah kasus DBD sampai dengan Nopember 2017 ada 233 kasus dengan kematian 3 anak, sedangkan jumlah kasus DBD tahun 2016 berjumlah 610 kasus dengan kematian 18 anak (3%).  Jumlah desa endemis DBD ada 98 desa atau 43% dari seluruh desa di Kabupaten Tegal. 

Pencegahan dan penanggulangan DBD melalui pemberdayaan masyarakat merupakan langkah cerdas dan hemat biaya. Keberhasilan pencegahan dan pengendalian penyakit DBD sangat ditentukan oleh kemitraan antar pemerintah dan anggota masyarakat. Untuk itu perlu dibentuk Kelompok Kerja Operasional (POKJANAL) DBD disetiap tingkat administrasi yaitu Kabupaten, Kecamatan dan Desa. Hal ini bertujuan adalah agar pencegahan dan penanggulangan penyakit DBD dapat terkoordinasikan dengan Dinas / Instansi / Lembaga kemasyrakatan terkait sehingga seluruh lapisan masyarakat berperan aktif dalam pelaksanaan pemberantasan sarang nyamuk terutama dengan cara 3 M plus (Menguras, Menutup, dan Mendaur Ulang barang bekas).

Dengan demikian diharapkan masyarakat akan mampu melindungi dirinya, keluarga dan lingkungannya dari penularan penyakit DBD. Melalui pembentukan POKJANAL tingkat kabupaten itu diharapkan akan ditindaklanjuti di tingkat Kecamatan dan desa, khususnya yang endemis DBD untuk segera membentuk Pokjanal DBD tingkat kecamatan dan desa sebagai wadah pemberdayaan masyarakat sehingga masyarakat mengerti dan berperan aktif dalam kegiatan pemberantasan sarang nyamuk dengan cara 3 M Plus dan tercipta Gerakan 1 Rumah 1 Juru Pemantau Jentik.

 









 

 

Instruksi Bupati Tegal nomor 443.4/05/986 tahun 2019 tentang gerakan serentak pencegahan dan pengendalian penyakit DBD.

Pada tahun 2018 jumlah kasus DBD kabupaten Tegal dan nasional memang sedang mengalami penurunan tren. Data menunjukan angka kejadian DBD di tahun 2018 hanya 4,6 penderita per 100.000 penduduk. Sungguh ini adalah jumlah terendah  selama 14 tahun terakhir. Namun pada tahun 2019 tren kasus penyakit DBD mulai merangkak naik lagi. Antisipasi perlu dilakukan untuk menghadapi tren 5 tahunan.

Air hujan dapat menggenang di berbagai tempat di sekitar rumah kita. Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan 3 M plus jelas merupakan pencegahan terbaik yang dilakukan sebelum ada kasus, agar bisa meminimalkan dilakukannya fogging/ pengasapan dengan insektisida yang sejatinya berbahaya bagi manusia, hewan peliharaan, dan lingkungan.

Penyakit ini berpotensi menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB), bahkan kematian. Pada musim hujan, biasanya di awal dan akhir tahun, diperlukan pencegahan dan pengendalian penyakit ini. Maka Bupati Tegal menginstruksikan kepada semua kepala OPD, Camat, dan Kepala Desa/ Lurah, terutama daerah endemis/ sporadis untuk serentak melakukan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN).

Desa endemis adalah desa yang selama 3 tahun berturut-turut terdapat kasus DBD. Desa sporadis adalah desa yang dalam 3 tahun terakhir ada kasus DBD meskipun tidak berturut-turut tiap tahunnya. Total desa endemis di Kabupaten Tegal tahun 2018 ada 21 desa, dan desa sporadis sejumlah 197 desa. Sisanya disebut desa potensial DBD.

PSN yang diinstruksikan disini adalah melalui 3M plus, menguras bak mandi, menutup tempat penampungan air dan mendaurulang barang bekas yang bisa menampung air hujan. Ditambah dengan kegiatan mencegah gigitan nyamuk seperti memelihara ikan pemakan jentik, memakai kelambu/ repelent anti nyamuk, mengurangi gantungan baju, menyediakan cahaya dan udara yang cukup dalam rumah untuk mengurangi kelembaban, memakai perangkap nyamuk (ovitrap/ larvitrap), dsb.

Bupati juga menginstruksikan penyuluhan intensif pada masyarakt agar bisa bersama-sama melakukan PSN. Masyarakat diharapkan aktif menjadi pemantau jentik di rumahnya masing-masing. Gerakan 1 rumah 1 jumantik dapat memberdayakan masyarakat untuk memantau kontainer (tempat air) yang ada di rumah masing-masing. Sehingga masyarakat bertanggung jawab atas lingkungannya sendiri. Tidak mungkin masyarakat melempar tanggungjawab kebersihan dan kesehatan lingkungannya kepada petugas kesehatan.

Bupati juga menginstuksikan agar semua pihak bisa melakukan kewaspadaan dini. Jika terdapat laporan / rumor kasus DBD, dapat segera membawanya ke fasilitas kesehatan terdekat untuk diberi pertolongan. Camat di wilayah endemis juga diinstruksikan membentuk Pojnakal DBD (kelompok kerja nasional) penyakit DBD. Untuk pelaksanaan fogging sebagai tatalaksana kasus DBD di lapangan, dilakukan secara selektif sesuai indikasi, berdasarkan hasil penyelidikan epidemiologi di lapangan.

 




 

3.      Masalah yang ditemukan

Sebenarnya telah banyak upaya yang telah di lakukan pemerintah. Sejak puluhan tahun silam kita sudah sering mengadakan sosialisasi. Ada pula inovasi seperti Jumantik, Siswantik, Pemantauan Jentik Berkala (PJB). Gerakan Jumantik (Juru Pemantau Jentik) adalah pemantauan Jentik yang dilakukan oleh kader. Teknisnya, kader memeriksa kontainer (tempat penampungan air) yang ada di dalam rumah dan luar rumah penduduk. Kegiatan ini kadang dilakukan sesekali dan tidak berkelanjutan.

Ada pula Siswantik (Siswa Pemantau Jentik), teknis pelaksanaannya sama seperti Jumantik hanya saja Jumantiknya adalah siswa, baik anak SD, maupun gerakan-gerakan kepanduan kesiswaan seperti Pramuka Saka Bakti Husada. Mereka biasanya ditugaskan untuk memeriksa kontainer lingkungan sekolah dan sekitarnya. Untuk menjamin keberlangsungan Angka Bebas Jentik (ABJ) sesuai standar, yakni >95%, maka ada istilah Pemantauan Jentik Berkala (PJB). Artinya, Pemantauan jentik yang dilakukan kader maupun siswa tadi dilakukan secara berkala, berkelanjutan. 

Namun, fungsi pemberdayaan dan peran serta masyarakat untuk hidup sehat dinilai kurang dengan program ini. Karena masyarakat menjadi tergantung kehadiran jumantik, hanya untuk menguras bak mandi mereka sendiri saja harus didatangi oleh jumantik. Kemandirian dan tanggungjawab terhadap kesehatan masyarakat sendiri harus dimunculkan. Pemberdayaan kesehatan masyarakat harus mengkondisikan masyarakat untuk mempunyai kekuatan, peran, kendali dalam mewujudkan lingkungan yang sehat secara mandiri.

Kini, Kementerian Kesehatan memunculkan gerakan "Jumantik Rumah Tangga atau Gerakan satu rumah satu Jumantik". Ini adalah peran serta dan pemberdayaan masyarakat dengan melibatkan setiap keluarga dalam pemeriksaan, pemantauan dan pemberantasan jentik nyamuk untuk pengendalian penyakit tular vektor khususnya DBD melalui pembudayaan PSN 3M PLUS. Sampai dengan saat ini, gerakan ini terbukti efektif dan direkomendasikan Kemenkes RI secara Nasional.

               Tentang Gerakan 1 Rumah 1 Jumantik

 


 

Untuk melaksanakan program ini kita perlu mengenal istilah-istilah sbb:

a.       Jumantik adalah orang yang melakukan pemeriksaan, pemantauan dan pemberantasan jentik nyamuk khususnya Aedes aegypti dan Aedes albopictus.

b.      Jumantik Rumah adalah kepala keluarga / anggota keluarga / penghuni dalam satu rumah yang disepakati untuk melaksanakan kegiatan pemantauan jentik di rumahnya. Kepala Keluarga sebagai penanggung jawab Jumantik Rumah.

c.       Jumantik Lingkungan adalah satu atau lebih petugas yang ditunjuk oleh pengelola tempat – tempat umum (TTU) atau tempat – tempat institusi (TTI) untuk melaksanakan pemantauan jentik di:

*  TTI     : Perkantoran, sekolah, rumah sakit.

* TTU    : Pasar,  terminal,  pelabuhan, bandara, stasiun, tempat ibadah, tempat pemakaman/ wisata.

Tugas Jumantik rumah/ lingkungan adalah mensosialisasikan PSN 3 M plus kepada anggota keluarganya/ lingkungan, memeriksa tempat penampungan air yang ada di dalam /luar rumah/ lingkungan, mengajak anggota keluarga/ instansi/lingkungannya melakukan PSN dan mencatat hasil PSN di kartu jentik.

 


 

d.      Koordinator Jumantik adalah satu atau lebih jumantik/kader yang ditunjuk oleh Ketua RT untuk melakukan pemantauan dan pembinaan pelaksanaan jumantik rumah dan jumantik tingkat RT (crosscheck).

 


 

Tugas koordinator Jumantik adalah sosialisasi PSN 3M plus kepada kelompok, membina Jumantik rumah/instansi (maksimal 10 jumantik), menggerakan masyarakat untuk PSN, melakukan pembinaan dan kunjungan ke jumantik yang telah direncanakan jadwalnya 2 minggu sekali, melaporkan ke supervisor 1 bulan sekali.

e.       Supervisor Jumantik adalah satu atau lebih anggota dari Pokja DBD atau orang yang ditunjuk oleh Ketua RW/Kepala Desa/Lurah untuk melakukan pengolahan data dan pemantauan pelaksanaan jumantik di tingkat RW/ Desa.

 


 

Tugas supervisor adalah membina Koordinator Jumantik, merekap data ABJ (Angka Bebas Jentik) dan melaporkan ke Puskesmas sebulan sekali.
Pihak Puskesmas bertugas merekap data dari supervisor dan melaporkannya ke Dinkes sebulan sekali, membina Supervisor dan koordinator, serta koordinasi lintas sektoral untuk pembinaan.

 


Untuk dapat melaksanakan gerakan satu rumah satu jumantik ini dibutuhkan pendukung operasional seperti:

a.      Dana

Dana bisa didapat dari anggaran Dana Desa, APBD, BOK, dll berupa transport/ insentif/ honor koordinator/ supervisor jika diperlukan. Bisa dianggarkan pula biaya untuk pertemuan sosialisasi, pembinaan, monev.

b.      Formulir

Cetak kartu pemantauan jentik yang harus ditempel di rumah/ lingkungan instansi, lebih praktis bisa berupa stiker. Lengkapi pula dengan cetak formulir rekapan koordinator dan laporan supervisor, Leaflet penyuluhan DBD, dsb.

c.       Kit/ peralatan

Senter, topi, tas, rompi /seragam, alat tulis, plastik untuk abatte.

 


       Gerakan ini sangat bagus untuk diimplementasikan, hanya saja di Kabupaten Tegal pemerintahan daerah belum mempunyai kebijakan tertulis untuk mendukung operasional gerakan ini agar bisa dijalankan secara serempak, dan didukung oleh berbagai pihak.

   

4.      Rekomendasi

Meskipun sudah ada petunjuk keknis implementasi PSN 3M-PLUS dengan Gerakan satu rumah satu Jumantik yang disusun oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, melalui Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik tahun 2017, namun untuk teknis operasional di daerah membutuhkan sebuah kebijakan tertulis tersendiri. Rekomendasi dari telaah ini adalah perlu dilakukan perumusan dan usulan sebuah kebijakan yang bersifat anjuran atau perintah operasional praksis implementatif tentang gerakan satu rumah satu jumantik.