Kusta? Putus obat? menolak berobat? Siapa yang butuh sembuh? adakah resikonya dari putus obat?
Strategi penanggulangan kusta yaitu degnan memutuskan rantai penularan kusta, hanya ada 2 cara:
1. Temukan penderita baru
2. Obati penderita sampai tuntas
Strategi menemukan penderita baru berbagai langkah dari penemuan aktif sampai dengan pasif (pasien sukarela datang periksa). Penemuan aktif yaitu dengan pemeriksaan kontak erat kusta baik penderita lama maupun baru, juga dengan pemeriksaan anak sekolah, pencarian aktif seperti ICF (Intensif case Finding) dan RVS (Rapid Village Survey).
Lantas bagaimana strategi mengobati pasien sampai tuntas atau RFT (Release From Treatment)? Berbagai kendala ada penderita yang putus obat dengan berbagai alasan dari mulai menganggap dirinya sudah sembuh meski belum tuntas berobat, ada yang tidak nyaman dengan efek samping, sampai dengan kendala kendala subyektif yang lain seperti repot danmenganggapnya tidak penting.
Penderita memang mempunyai hak untuk tidak minum obat jika dilihat dari perspektif hak sebagai pasien. Namun dalam sisi epidemiologis, kita sebagai petugas kesehatan masyarakat wajib mengantisipasi penyebaran penyakit menular, meskipun kusta itu penyakit menular yang terabaikan. Justru karena terabaikan ini cenderung lepas dari monitor dan kontrol kita sebagai petugas kesehatan. Hingga akhirnya penularan pun terjadi tanpa kontrol.
Dampaknya itu, yang tidak kita inginkan, yakni penularan berlanjut, tingkat cacat, kusta pada anak dsb. Dimana semua orang yang menjadi kontak eratnya juag mempunyai hak untuk hidup sehat, bebas dari tertular penyakit itu. Anak, anak,keluarga, tetangga, teman kerja penderita itu mempunyai hak untuk sehat yang harus kita jaga dan lindungi.
Penderita tidak bisa ego dengan memikirkan dirinya sendiri saja, merasa berhakmenolak pengobatan dan mengabaikan hak lain untuk sehat. Itu tak mengapa jika penyakit yang diderita adalah penyakit tidak menular,dia sendiri yang akan menanggung kerugian itu. Meskipun keluarga juga akan secara tidak langsung menerima dampak kerugian tersebut.
Namun kusta ini penyakit menular, dimana Indonesia menjadi juara 3 dunia dalam beban kusta. Ini bukan main-main. Dari peringkat ini pun akan ada dampaknya di level dunia, yang pastinya penderita yang ego ini tidak sampai berpikir jauh kesana. Bagaimana dunia memandang kita? Bagaimana investor dunia memandang sehat atau tidaknya iklim investasi di Indonesia, bagaimana sektor ekonomi dan pariwisata akan berkembang dengan peringkat hebat dunia dalam penyakit menular? Alih alih memikirkan cadangan devisa akan turun? penderita yang ego ini memang hanya memikirkan diri sendiri dalam zona nyamannya.
Untuk kepentingan yang lebih besarm untuk menghormati dan menjaga hak-hak orang lain yang mempunyai resiko terbesar tertular penyakit ini, kita tidak tinggal diam. Tuntas berobatnya pasien adalah keharusan, dilihat dari kewajiban kita menghentikan penyebaran penyakit menular ini. Maka sah-sah saja kita lebih meneguhkan komitmen karena kita tidak bisa menjadi pengawas minum obat. Yakni dengan sebuah surat pernyataan bersedia berobat. Ini pernyataan, sebuah public comitment yang dinyatakan oleh penderita bahwa dia bersedia menjalani pengobatan sesuai aturan sampai tuntas.
Faktanya, manusia jika menulis Goalnya, terbukti 38% tercapai. Dan manusia yang melaporkan komitmenntya ke publik 78 % tercapai. Dan jika hidup sehat adalah hak dari semua kontak erat pasien kusta, mengapa tidak kita libatkan mereka jika pasien tersebut akan menolak berobat? apakah mau mereka sakit tertular penyakit dari pasien ini? tentu tidak. Jadi dengan adanya surat pernyataan menolak menerima pengobatan pun ini akan membuat pasien berpikir dua kali sebelum memutuskan berhenti berobat, karna kontak erat pun tidak akan bersedia tertular. Justru kontak erat pasien seharusnya mampu mendukung pasien ini berobat sampai tuntas.
oleh: Bagus Johan Maulana, SKM. Wasor Kusta Kab.Tegal
No comments:
Post a Comment