Audio Bumper

Sunday, November 20, 2022

Situasi Dengue Di Kabupaten Tegal s.d Minggu ke-40 tahun 2022

     Data Dengue/DBD tahun 2022 secara kumulatif yang sudah terlaporkan sebanyak 324 kasus Dengue yang terkonfirmasi DBD (dengan Insiden Rate 20/100.000 penduduk) dan 7 kematian (dengan CFR 2.16%). Kasus Dengue/DBD tersebut tersebar di 27 wilayah Puskesmas. Kematian Dengue tersebar di 7 wilayah Puskesmas. Secara umum terjadi peningkatan kasus Dengue sebanyak 2,7 x dibandingkan pada periode yang sama di tahun sebelumnya.

1. 1. Insiden Rate (IR) tertinggi di Kabupaten Tegal pada tahun 2021 adalah wilayah Puskesmas Dukuhwaru dengan 44,5/100.000 penduduk. Sementara untuk tahun 2022 (s.d bulan Oktober) IR tertinggi adalah wilayah Puskesmas Kramat dengan 44,9/100.000 penduduk. Target IR dalam indikator kinerja program DBD adalah <45/100.000 penduduk. IR DBD Kabupaten Tegal sampai dengan bulan Oktober 2022 sudah mencapai 20/100.000 penduduk. Insiden Rate menggambarkan proporsi kesakitan DBD setiap 100.000 jumah penduduk.


2. Jumlah Penderita DBD di Kabupaten Tegal sampai dengan minggu ke-40 berdasarkan golongan umur adalah 17 (umur <1th), 73 (umur 1-4th), 197 (umur 5-14 th) 32 (umur 15-44th), 5 (umur >45 th) . Total semuanya berjumlah 324 kasus. Golongan umur yang selalu mendominasi jumlah kasus terbanyak adalah umur 5-14 tahun.


3. Jumlah kasus dan kematian DBD di Kabupaten Tegal s.d Minggu 40 tahun 2022 sejumlah 324 kasus dengan 7 kematian. Ini artinya CFR (Case Fatality Rate) DBD sudah mencapai 2,2 %. Target CFR adalah <1%.


4.     Tren jumlah kasus DBD bulanan selama beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa tahun 2022 mengalami perubahan tren, tidak seperti biasanya. Puncak penularan kasus DBD biasanya terjadi di awal atau akhir tahun, namun tahun 2022 ini puncak jumlah kasus DBD sudah terjadi di bulan Juli dan Agustus 2022.


5. Tren angka kesakitan/ Insiden Rate (IR) DBD tahunan dari tahun 2007 sampai dengan Okt 2022 menunjukan ketidakteraturan pola kenaikan/penurunan siklus secara periodik tertentu.

 

  

6.     Tren angka kematian/ Case Fatality Rate (CFR) kasus DBD di Kabupaten Tegal sejak tahun 2010 sampai dengan Oktober 2022 cenderung melebihi target (>1%). Hanya pernah satu kali memenuhi target, yaitu tahun 2019, yakni sebesar 0,8%.


7.     Jumlah kegiatan fogging DBD selama tahun 2022 ini terbanyak sejak tahun 2016. Peningkatan kasus di tahun 2022 ini sangat signifikan dan banyak yang memiliki hubungan epidemiologis penularan.


8.     Data endemisitas penyakit DBD tahun 2021 terdiri dari 41 desa endemis, 173 sporadis dan 73 potensial. Jumlah desa endemis di kabupaten Tegal terus mengalami peningkatan sejak tahun 2018. Desa endemis adalah desa yang selama 3 tahun berturut-turut terdapat kasus DBD.

Wednesday, September 28, 2022

Data Endemisitas DBD di Tegal tahun 2021

Desa endemis DBD adalah desa yang dalam 3 tahun terakhir terjadi kasus DBD setiap tahunnya berturut-turut. Desa sporadis adalah desa yang dalam 3 tahun terakhir terdapat kasus DBD namun tidak terjadi secara berturut-turut setiap tahunnya. Sementara desa potensial DBD adalah desa yang dalam 3 tahun terakhir tidak terdapat kasus DBD namun berpotensi menjadi tempat penularan DBD karena ditemukan adanya jentik nyamuk.



Kategorisasi endemisitas ini berguna untuk membantu programer membuat perencanaan dalam kegiatan sosialisasi, pengerahan masyarakat untuk PSN, abatisasi, pembuatan teknologi tepat guna seperti larvitrap, dan kegiatan pemantauan jentik seperti Gerakan 1 rumah 1 jumantik. 

Kategorisasi ini juga dapat membantu kita untuk membuat data analisis peta sebaran penyakit DBD. Data endemisitas ini bisa dibuat setelah tahun tersebut berakhir. Misalnya, tahun 2022 ini kita hanya bisa menentukan data endemisitas DBD sampai dengan akhir tahun 2021.

Jumlah desa endemis DBD di Kabupaten Tegal sampai dengan akhir tahun 2021 adalah 41 desa, sementara desa sporadis berjumlah 173 desa, dan desa potensial berjumlah 73 desa.



Monday, September 19, 2022

20 Puskesmas di Kabupaten Tegal Siap Layani Pemeriksaan BTA Skin Smear Kusta

Salah satu tanda utama penyakit kusta, selain adanya bercak mati rasa dan penebalan saraf tepi adalah hasil pemeriksaan BTA (Basil Tahan Asam) Skin Smear. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara mengambil sampel dari kerokan kulit penderita kusta untuk dilakukan pemeriksaan dengan mikroskop. 
 

 


Pemeriksaan BTA Skin Smear ini diindikasikan untuk kasus yang dicurigai atau memiliki risiko tinggi tertular kusta namun tidak ditemukan tanda utama kusta. Pemeriksaan ini juga dilakukan memastikan tipe kusta dan kasus relaps (kambuh). Pemeriksaan BTA Skin Smear Kusta ini mencakup 2 pemeriksaan, yakni Indeks Bakteriologi (IB) dan Indeks Morfologi (IM). 

IB adalah untuk menentukan seberapa banyak kuman kusta dalam suatu lapang pandang. Sementara IM adalah prosentasi berapa jumlah kuman yang masih utuh di antara kuman yang diperiksa. 

Dalam Permenkes nomor 11 tahun 2019 tentang Penanggulangan Kusta, menjelaskan tentang kasus relaps atau kambuh terjadi bila sebelumnya penderita kusta sudah pernah dinyatakan sembuh atau telah menyelesaikan pengobatan MDT (Muli Drug Therapy), namun timbul lesi kulit baru di tempat yang berbeda dan bukan lesi lama yang bertambah aktif. Penderita Kusta juga dinyatakan relaps jika terdapat penebalan saraf (tepi) baru yang disertai defisit (gangguan fungsi) neurologis yang sebelumnya tidak ada.

Untuk menyatakan relaps harus dikonfirmasikan kepada pengelola program atau dokter yang memiliki kemampuan klinis dalam mendiagnosis relaps. Untuk relaps MB, jika pada pemeriksaan ulang BTA setelah RFT terjadi peningkatan Indeks Bakteri 2+ (level) atau lebih bila dibandingkan dengan Indeks bakteri saat diagnosis. Apabila tidak dilakukan pemeriksaan BTA saat diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan Indeks Morphology (IM). Bila hasil Indeks Morphology positif maka dinyatakan relaps.

Penderita relaps dapat diberikan MDT maksimal sampai dengan 24 bulan dengan follow up pemeriksaan IM setiap 3 bulan. Jika IM sudah negatif maka MDT dihentikan. Jika di akhir bulan ke-24 hasil IM masih positif maka harus dilakukan pemeriksaan resistensi MDT.

Dengan demikian, untuk penegakan diagnosa dan tata laksana kasus relaps sangat membutuhkan kemampuan pemeriksaan BTA skin smear kusta di lapangan. Untuk itu, bulan Agustus ini Dinas Kesehatan Kabupaten Tegal telah melakukan On the Job Training (OJT) pemeriksaan BTA skin smear kusta ke beberapa puskesmas, sehingga sekarang semua puskesmas di kabupaten Tegal sudah siap melayani pemeriksaan BTA skin smear Kusta. (bjm/epid)

Thursday, August 18, 2022

Paket pedoman kusta

Permenkes nomor 11 tahun 2019 tentang Penanggulangan Kusta
Buku Pedoman Nasional Pengendalian Penyakit Kusta 2012
Buku Atlas Kusta 2013 
Algoritma kusta 2013
PNPK Kusta 2019



Silahkan download  di sini

Monday, June 27, 2022

Cegah Cacat Kusta, Dinkes Tegal Dukung Riset Keterlambatan Penemuan Kusta

Keterlambatan penemuan kasus kusta masih menjadi masalah dalam program pengendalian penyakit kusta. Hal ini ditunjukan melalui parameter proporsi cacat tk. II dari kasus kusta baru yang ditemukan. Semakin tinggi persentasinya, menggambarkan penemuan kasus kusta yang terlambat. Dalam 10 tahun terakhir, proporsi cacat tingkat II masih di atas target yang tentukan, yakni maksimal 5%, baik di Kabupaten Tegal maupun di tingkat Provinsi Jawa Tengah. 



Seharusnya, sebelum pasien mengalami stadium reaksi, bahkan sejak munculnya tanda dan gejala kusta seperti bercak mati rasa, sesegera mungkin pasien tersebut ditemukan dan diobati.

Kecacatan yang timbul pada penderita kusta, menandakan pasien tersebut tidak terdeteksi oleh tenaga kesehatan yang berkompeten sejak dini. Pasien cenderung menganggap bercak mati rasa bukanlah sebuah penyakit yang serius, sebelum memberikan dampak gangguan kesehatan yang bermakna. Sampai saat timbul stadium reaksi, barulah pasien merasakan gangguan kesehatan dari gejala peradangannya. 

Pada stadium reaksi itu pun tidak semua penderita mendapatkan pelayanan kesehatan yang tepat. Bisa jadi penderita tidak berobat ke tempat pelayanan kesehatan. Mereka mengobati dirinya sendiri dengan persepsi pengetahuan yang mereka miliki, membeli obat sendiri, atau berobat ke pengobatan tradisional. Atau bisa jadi penderita berobat ke tempat pelayanan kesehatan namun proses anamnesa dan kompetensi tenaga kesehatan tidak cukup untuk menemukan diagnosa kusta.

Akhirnya, jika stadium reaksi tidak segera tertangani secara adekuat, maka timbullah kecacatan, baik cacat tingkat I maupun cacat tingkat II. Kecacatan inilah yang menjadi perhatian serius karena berdampak pada berkurangnya produktivitas. Kecacatan ini seharusnya dapat dicegah dan dihindari sejak awal dengan kesadaran masyarakat tentang kesehatannya, peningkatan akses pelayanan kesehatan ke masyarakat, kompetensi petugas kesehatan dalam mendiagnosa penyakit kusta, dan peningkatan penemuan kasus kusta secara aktif di masyarakat dengan berbagai kegiatan seperti intensive case finding, rapid village survey, pemeriksaan anak sekolah, pemeriksaan kontak erat.   

Dari berbagai alternatif strategi tersebut, keputusan yang akan diambil oleh pemangku kebijakan haruslah berbasis data dan fakta di lapangan. Dan untuk memenuhi kebutuhan data tersebut diperlukan adanya penelitian atau riset. Namun untuk mewujudkan sebuah riset, seringkali kekurangan kualitas dan kuantitas sumber daya di daerah menjadi kendala. 

Untuk itu, Dinas Kesehatan kabupaten Tegal sangat mendukung pihak-pihak yang berniat melakukan riset yang bermanfaat untuk kepentingan program pengendalian penyakit kusta. Seperti kalangan mahasiswa atau akademisi yang menjalankan tugas akhir, atau penelitian independen tentang kusta. 

Bulan Juni ini Dinas Kesehatan memberikan dukungan kepada tim riset yang dipimpin oleh Yudhi Darmawan, dosen Universitas Diponegoro yang sedang mengenyam pendidikan doktoral. Tim yang terdiri dari 10 enumerator ini meneliti tentang tingkat keterlambatan penemuan kasus kusta. Selama ini belum pernah dilakukan penelitian seberapa lama pasien tersebut tidak terdeteksi sebagai penyakit kusta oleh tenaga kesehatan, sejak awal timbul tanda/gejalanya.    


Dengan berbekal materi analisa situasi, kebijakan program, gambaran umum penyakit kusta dan teknis penelitian dari kepala seksi P2P (Pencegahan dan Pengendalian Penyakit), wasor kusta dan pimpinan tim riset, tim enumerator tersebut terjun ke lapangan untuk mengumpulkan data dari 160 responden yang berada di 28 wilayah Puskesmas di kabupaten Tegal. 

Hasilnya, ternyata penemuan kasus kusta di Kab. Tegal rata-rata memiliki keterlambatan lebih dari 1 tahun. Ini menjadi perhatian bagi Dinas Kesehatan untuk menyikapi dengan menyiapkan rencana tindak lanjut. Penelitian-penelitian semacam ini harus mendapat dukungan penuh karena dapat memberikan kontribusi nyata. Tidak hanya manfaat untuk batang tubuh ilmu pengetahuan namun juga untuk strategis pelaksanaan program pengendalian penyakit kusta.

Wednesday, June 22, 2022

Warga Dua RT di Lumingser Minum Obat Pencegahan Kusta

Kegiatan kemoprofilaksis kusta di kabupaten Tegal telah  dimulai sejak tahun 2020. Kegiatan pemberian obat untuk mencegah penyakit kusta ini merupakan yang pertama di Jawa Tengah. Pada tahun 2020, kegiatan tersebut dilaksanakan dengan metode pendekatan kontak. Yaitu dengan memberi obat Rifampisin sesuai dosis pada seluruh kontak erat penderita kusta yang ditemukan sejak tahun 2018 sampai dengan tahun 2020. Kegiatan ini masih berjalan hingga saat ini, dengan sasaran kontak erat penderita kusta baru yang ditemukan di seluruh wilayah kabupaten Tegal.


Khusus pada tahun 2022 ini, terdapat kegiatan kemoprofilaksis khusus dengan metode mini blanket yang diberikan pada warga desa Lumingser Rt 12 dan 14. Metode mini blanket adalah pendekatan gabungan antara metode kontak erat dan blanket. Blanket adalah pendekatan kemoprofilaksis kusta dengan sasaran seluruh penduduk di suatu daerah. Biasanya dilakukan pada suatu desa/daerah yang terisolir, terpencil dengan akses terbatas dan pelayanan kusta yang kurang memadai. 

Metode mini blanket dilaksanakan pada suatu area tertentu yang skalanya lebih kecil, seperti area rukun tetangga/rukun warga/pedukuhan, dengan asumsi seluruh warga di area tersebut telah menjadi kontak erat penderita kusta. 

Terpilihnya desa Lumingser menjadi sasaran kegiatan ini adalah karena angka penemuan kasus kusta baru/CDR (Case Detection Rate) tertinggi di kabupaten Tegal. Selama 5 tahun terakhir, CDR kusta desa Lumingser sebanyak 186 penderita per 100.000 penduduk. Lumingser memiliki 44 kasus baru kusta dalam 5 tahun terakhir di antara 4.720 penduduknya. Jika dilihat dalam skala lebih kecil, RT 12/RW 2 dan RT 14/RW 2 lah yang memiliki penderita terbanyak, masing-masing 6 penderita dalam 5 tahun terakhir.

Kegiatan yang dilaksanakan pada bulan Mei 2022 tersebut telah berhasil memberikan obat pada 428 penduduk dari total sasaran 517 penduduk kedua RT itu. Artinya cakupannya telah mencapai 82%, dari yang ditargetkan minimal 80%. 

Mengacu hasil riset pelaksanaan kemoprofilaksis sebelumnya di daerah lain, kegiatan ini dapat memberikan perlindungan hingga 63% terhadap penyakit kusta. Dan untuk mengevaluasi efektivitas pemberian kemoprofilaksis tersebut, perlu dilakukan pengamatan beberapa tahun ke depan. Jumlah warga yang telah diberikan obat kemoprofilaksis namun tetap tertular kusta harus kurang dari 5%. Semoga desa Lumingser dapat mewujudkannya. (bjm/epid)

Penuhi Target, Cakupan Pemberian Obat Cacing di Tegal Capai 97%

Pemberian Obat Pencegahan Masal (POPM) kecacingan tahun 2022 ini masih diagendakan 2 periode. Periode I di bulan Februari, dan periode II di bulan Agustus. Sejak ditetapkannya Kabupaten Tegal menjadi daerah lokus intervensi penurunan stunting melalui salinan Keputusan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional nomor Kep. 42/M.PPN/HK/04/2020, maka sejak tahun 2021 POPM kecacingan diberikan 2 kali (periode). 



Seperti yang kita ketahui, salah satu penyebab stunting (kerdil) adalah malabsorpsi nutrisi yang disebabkan oleh kecacingan.  Maka, Februari lalu dengan menyasar anak usia 1-12 tahun, obat cacing Albendazole didistribusikan secara optimal melalui Puskesmas ke posyandu, TK/PAUD, SD/MI se-Kabupaten Tegal. 

Anak usia 12-23 bulan dianjurkan minum obat cacing Albendazol 200 mg, dan anak usia 2-12 tahun dengan dosis 400 mg, diminum di depan petugas Puskesmas langsung yang mengunjungi setiap lokasi pemberian. Sejumlah 1559 posyandu dan 921 SD/MI berhasil dikunjungi oleh petugas dan hasilnya 273.950 anak dari 282.311 sasaran berhasil minum obat cacing (97%). Cakupan ini melebihi yang ditargetkan, yakni minimal 95% dari sasaran.

Pemerintah berharap dengan kegiatan rutin POPM kecacingan 2 x setahun pada anak sekolah dan prasekolah ini akan dapat menurunkan angka stunting, mencetak generasi muda yang cerdas, sehat dan produktif. (bjm/epid)

Thursday, February 3, 2022

Efek samping MDT