Audio Bumper

Monday, June 27, 2022

Cegah Cacat Kusta, Dinkes Tegal Dukung Riset Keterlambatan Penemuan Kusta

Keterlambatan penemuan kasus kusta masih menjadi masalah dalam program pengendalian penyakit kusta. Hal ini ditunjukan melalui parameter proporsi cacat tk. II dari kasus kusta baru yang ditemukan. Semakin tinggi persentasinya, menggambarkan penemuan kasus kusta yang terlambat. Dalam 10 tahun terakhir, proporsi cacat tingkat II masih di atas target yang tentukan, yakni maksimal 5%, baik di Kabupaten Tegal maupun di tingkat Provinsi Jawa Tengah. 



Seharusnya, sebelum pasien mengalami stadium reaksi, bahkan sejak munculnya tanda dan gejala kusta seperti bercak mati rasa, sesegera mungkin pasien tersebut ditemukan dan diobati.

Kecacatan yang timbul pada penderita kusta, menandakan pasien tersebut tidak terdeteksi oleh tenaga kesehatan yang berkompeten sejak dini. Pasien cenderung menganggap bercak mati rasa bukanlah sebuah penyakit yang serius, sebelum memberikan dampak gangguan kesehatan yang bermakna. Sampai saat timbul stadium reaksi, barulah pasien merasakan gangguan kesehatan dari gejala peradangannya. 

Pada stadium reaksi itu pun tidak semua penderita mendapatkan pelayanan kesehatan yang tepat. Bisa jadi penderita tidak berobat ke tempat pelayanan kesehatan. Mereka mengobati dirinya sendiri dengan persepsi pengetahuan yang mereka miliki, membeli obat sendiri, atau berobat ke pengobatan tradisional. Atau bisa jadi penderita berobat ke tempat pelayanan kesehatan namun proses anamnesa dan kompetensi tenaga kesehatan tidak cukup untuk menemukan diagnosa kusta.

Akhirnya, jika stadium reaksi tidak segera tertangani secara adekuat, maka timbullah kecacatan, baik cacat tingkat I maupun cacat tingkat II. Kecacatan inilah yang menjadi perhatian serius karena berdampak pada berkurangnya produktivitas. Kecacatan ini seharusnya dapat dicegah dan dihindari sejak awal dengan kesadaran masyarakat tentang kesehatannya, peningkatan akses pelayanan kesehatan ke masyarakat, kompetensi petugas kesehatan dalam mendiagnosa penyakit kusta, dan peningkatan penemuan kasus kusta secara aktif di masyarakat dengan berbagai kegiatan seperti intensive case finding, rapid village survey, pemeriksaan anak sekolah, pemeriksaan kontak erat.   

Dari berbagai alternatif strategi tersebut, keputusan yang akan diambil oleh pemangku kebijakan haruslah berbasis data dan fakta di lapangan. Dan untuk memenuhi kebutuhan data tersebut diperlukan adanya penelitian atau riset. Namun untuk mewujudkan sebuah riset, seringkali kekurangan kualitas dan kuantitas sumber daya di daerah menjadi kendala. 

Untuk itu, Dinas Kesehatan kabupaten Tegal sangat mendukung pihak-pihak yang berniat melakukan riset yang bermanfaat untuk kepentingan program pengendalian penyakit kusta. Seperti kalangan mahasiswa atau akademisi yang menjalankan tugas akhir, atau penelitian independen tentang kusta. 

Bulan Juni ini Dinas Kesehatan memberikan dukungan kepada tim riset yang dipimpin oleh Yudhi Darmawan, dosen Universitas Diponegoro yang sedang mengenyam pendidikan doktoral. Tim yang terdiri dari 10 enumerator ini meneliti tentang tingkat keterlambatan penemuan kasus kusta. Selama ini belum pernah dilakukan penelitian seberapa lama pasien tersebut tidak terdeteksi sebagai penyakit kusta oleh tenaga kesehatan, sejak awal timbul tanda/gejalanya.    


Dengan berbekal materi analisa situasi, kebijakan program, gambaran umum penyakit kusta dan teknis penelitian dari kepala seksi P2P (Pencegahan dan Pengendalian Penyakit), wasor kusta dan pimpinan tim riset, tim enumerator tersebut terjun ke lapangan untuk mengumpulkan data dari 160 responden yang berada di 28 wilayah Puskesmas di kabupaten Tegal. 

Hasilnya, ternyata penemuan kasus kusta di Kab. Tegal rata-rata memiliki keterlambatan lebih dari 1 tahun. Ini menjadi perhatian bagi Dinas Kesehatan untuk menyikapi dengan menyiapkan rencana tindak lanjut. Penelitian-penelitian semacam ini harus mendapat dukungan penuh karena dapat memberikan kontribusi nyata. Tidak hanya manfaat untuk batang tubuh ilmu pengetahuan namun juga untuk strategis pelaksanaan program pengendalian penyakit kusta.

Wednesday, June 22, 2022

Warga Dua RT di Lumingser Minum Obat Pencegahan Kusta

Kegiatan kemoprofilaksis kusta di kabupaten Tegal telah  dimulai sejak tahun 2020. Kegiatan pemberian obat untuk mencegah penyakit kusta ini merupakan yang pertama di Jawa Tengah. Pada tahun 2020, kegiatan tersebut dilaksanakan dengan metode pendekatan kontak. Yaitu dengan memberi obat Rifampisin sesuai dosis pada seluruh kontak erat penderita kusta yang ditemukan sejak tahun 2018 sampai dengan tahun 2020. Kegiatan ini masih berjalan hingga saat ini, dengan sasaran kontak erat penderita kusta baru yang ditemukan di seluruh wilayah kabupaten Tegal.


Khusus pada tahun 2022 ini, terdapat kegiatan kemoprofilaksis khusus dengan metode mini blanket yang diberikan pada warga desa Lumingser Rt 12 dan 14. Metode mini blanket adalah pendekatan gabungan antara metode kontak erat dan blanket. Blanket adalah pendekatan kemoprofilaksis kusta dengan sasaran seluruh penduduk di suatu daerah. Biasanya dilakukan pada suatu desa/daerah yang terisolir, terpencil dengan akses terbatas dan pelayanan kusta yang kurang memadai. 

Metode mini blanket dilaksanakan pada suatu area tertentu yang skalanya lebih kecil, seperti area rukun tetangga/rukun warga/pedukuhan, dengan asumsi seluruh warga di area tersebut telah menjadi kontak erat penderita kusta. 

Terpilihnya desa Lumingser menjadi sasaran kegiatan ini adalah karena angka penemuan kasus kusta baru/CDR (Case Detection Rate) tertinggi di kabupaten Tegal. Selama 5 tahun terakhir, CDR kusta desa Lumingser sebanyak 186 penderita per 100.000 penduduk. Lumingser memiliki 44 kasus baru kusta dalam 5 tahun terakhir di antara 4.720 penduduknya. Jika dilihat dalam skala lebih kecil, RT 12/RW 2 dan RT 14/RW 2 lah yang memiliki penderita terbanyak, masing-masing 6 penderita dalam 5 tahun terakhir.

Kegiatan yang dilaksanakan pada bulan Mei 2022 tersebut telah berhasil memberikan obat pada 428 penduduk dari total sasaran 517 penduduk kedua RT itu. Artinya cakupannya telah mencapai 82%, dari yang ditargetkan minimal 80%. 

Mengacu hasil riset pelaksanaan kemoprofilaksis sebelumnya di daerah lain, kegiatan ini dapat memberikan perlindungan hingga 63% terhadap penyakit kusta. Dan untuk mengevaluasi efektivitas pemberian kemoprofilaksis tersebut, perlu dilakukan pengamatan beberapa tahun ke depan. Jumlah warga yang telah diberikan obat kemoprofilaksis namun tetap tertular kusta harus kurang dari 5%. Semoga desa Lumingser dapat mewujudkannya. (bjm/epid)

Penuhi Target, Cakupan Pemberian Obat Cacing di Tegal Capai 97%

Pemberian Obat Pencegahan Masal (POPM) kecacingan tahun 2022 ini masih diagendakan 2 periode. Periode I di bulan Februari, dan periode II di bulan Agustus. Sejak ditetapkannya Kabupaten Tegal menjadi daerah lokus intervensi penurunan stunting melalui salinan Keputusan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional nomor Kep. 42/M.PPN/HK/04/2020, maka sejak tahun 2021 POPM kecacingan diberikan 2 kali (periode). 



Seperti yang kita ketahui, salah satu penyebab stunting (kerdil) adalah malabsorpsi nutrisi yang disebabkan oleh kecacingan.  Maka, Februari lalu dengan menyasar anak usia 1-12 tahun, obat cacing Albendazole didistribusikan secara optimal melalui Puskesmas ke posyandu, TK/PAUD, SD/MI se-Kabupaten Tegal. 

Anak usia 12-23 bulan dianjurkan minum obat cacing Albendazol 200 mg, dan anak usia 2-12 tahun dengan dosis 400 mg, diminum di depan petugas Puskesmas langsung yang mengunjungi setiap lokasi pemberian. Sejumlah 1559 posyandu dan 921 SD/MI berhasil dikunjungi oleh petugas dan hasilnya 273.950 anak dari 282.311 sasaran berhasil minum obat cacing (97%). Cakupan ini melebihi yang ditargetkan, yakni minimal 95% dari sasaran.

Pemerintah berharap dengan kegiatan rutin POPM kecacingan 2 x setahun pada anak sekolah dan prasekolah ini akan dapat menurunkan angka stunting, mencetak generasi muda yang cerdas, sehat dan produktif. (bjm/epid)