Pemkot Semarang bahkan telah memiliki Peraturan Daerah (Perda) nomor 5 tahun 2010 tentang pengendalian DBD. Pelaksanaan Fogging tanpa seizin Dinkes kota Semarang terancam denda 50 juta. "Sanksinya tipiring, denda Rp 50 juta atau enam bulan kurungan. Dalam penelitian, fogging hanya menghilangkan nyamuk dewasa, sedangkan nyamuk kecil menjadi kebal dan akan menambah banyak. Ini untuk mempertegas agar masyarakat tidak mudah melakukan fogging yang justru tidak efektif," kata Suharsono, anggota komisi C kota Semarang.
"Untuk wilayah Kabupaten Tegal sendiri, kami tidak membutuhkan tenaga penyemprot, alat, bahan bakar dan obat dari luar Dinas Kesehatan. Semuanya sudah tercukupi." ujar Ari Dwi Cahyani, SKM, M.Kes, Kasie P2PM. Ditemui di kantornya, Kamis (14/3) menanggapi adanya pihak swasta yang ingin melaksanakan fogging dengan alat, bahan dan tenaga sendiri.
Pihak swasta yang membeli sendiri alat fogging, melatih tenaga penyemprot dan sebagainya, tetap wajib mendapat izin dari Dinas Kesehatan Kabupaten Tegal untuk melakukan penyemprotan. Ini sebenarnya bukan mengenai ketersediaan alat, bahan, obat atau tenaga, namun keputusan melakukan fogging itu tidak bisa diputuskan sendiri tanpa rekomendasi hasil penyelidikan epidemiologi. Sebenarnya pihak selain Dinas Kesehatan tidak perlu melakukan pengadaan alat fogging, untuk apa? Toh Dinas Kesehatan Kabupaten Tegal akan melaksanakan fogging sesuai dengan indikasinya, bahkan tanpa diminta siapapun akan tetap dilaksanakan jika memang sesuai indikasi. Sepanjang tahun 2019 sampai dengan hari ini sudah ada 15 lokasi fogging fokus.
Masyarakat kadang berpikir jangka pendek. Fogging hari ini, yang penting tiga hari ke depan tidak ada nyamuk. Namun kita sebagai pemerintah, jajaran kesehatan, entomolog, epidemiolog, ahli kesehatan masyarakat, perawat kesehatan masyarakat, penanggung jawab program DBD, insan kesehatan, mempunyai tanggung jawab mencegah penyebaran suatu penyakit potensial wabah.
Kita berpikir panjang ke depan, apa yang akan terjadi nanti dengan kekebalan nyamuk terhadap insektisida, mutasi genetik yang mengakibatkan fenomena transovarial, sampai-sampai virus sudah bisa diturunkan oleh induk nyamuk ke telurnya.
Ada sisi buruk fogging lainnya, itu adalah insektisida yang bagaimanapun, merupakan racun bagi lingkungan, saluran pernapasan manusia, makanan, dan hewan peliharaan.
Pengendalian vektor diatur dalam permenkes nomor 374 tahun 2010. Pengendalian vektor bertujuan untuk mencegah/ membatasi terjadinya penularan penyakit tular vektor di suatu wilayah sehingga penyakit tersebut dapat dicegah dan dikendalikan. Fogging hanyalah salah satu dari tindakan pengendalian vektor. Tindakan vektor lain adalah seperti Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan 3M (Menguras, Menutup, Mendaur ulang barang bekas), abatisasi, melakukan tindakan-tindakan mengurangi populasi nyamuk seperti mengurangi pakaian yang bergelantung, memberi udara dan cahaya yang cukup dalam ruangan, memakai kelambu, menggunakan repelent nyamuk, memelihara ikan, ovitrap, larvitrap, dsb.
Pengendalian vektor dengan cara fogging sendiri diatur dalam buku Pedoman Penanggulangan DBD, Kementerian RI tahun 2015. Intinya, fogging hanya sebuah pilihan akhir untuk memutus mata rantai penularan kasus yang telah terbukti dalam hasil penyelidikan epidemiologi. Itupun dengan kriteria diagnosa infeksi dengue yang bisa dipertanggungjawabkan secara klinis, maupun konfirmasi hasil laboratoriumnya.
Jika tidak ada bukti penularan kasus infeksi Dengue, maka fogging dilarang dilakukan, karena mencegah dampak buruk fogging lebih penting.
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete