Dalam pemantauan sebuah tren penyakit, perlu satuan waktu tertentu untuk menyamakan persepsi. Ini adalah kesadaran dimana kita sedang berada dalam sebuah rentang waktu. Masing-masing penyakit membutuhkan interval waktu tertentu untuk memantaunya. Bisa tiap jam, hari, minggu, atau bulan, tergantung kemampuan proses penyebaran, konteks kebutuhan intensitas pemantauan (kegawatan), dan potensialnya menjadi sebuah kejadian luar biasa.
Seperti penyakit DBD misalnya. DBD membutuhkan pemantauan dalam skala mingguan untuk bisa bermakna. Maksudnya, adanya kenaikan atau penurunan kasus, interpretasi hasil monitoring mingguan bisa merekomendasikan suatu langkah tertentu untuk menindaklanjutinya. Baik itu tata laksana kasus di lapangan, membuat kebijakan tindakan tertentu, langkah antisipasi, maupun sisi manajemen strategis program tersebut.
Untuk sebuah kewaspadaan dini seperti pembagian larvasida, pengerahan massa untuk pemberantasan sarang nyamuk dan berbagai tindakan pencegahan lainnya, bisa menggunakan tren bulanan. Seperti kita tahu ada bulan-bulan tertentu diman akasus DBD akan mulai merangkak naik, bahkan progresif. Untuk sebuah perencanaan anggaran mungkin bisa melihat tren DBD dalam skala tahunan. Bahkan ada makna tertentu yang bisa didapatkan dari analisa siklus DBD 5 tahunan sekali.
Ada istilah kalender mingguan epidemiologi. Yaitu suatu sistem perhitungan minggu dalam suatu tahun. Ini disepakati untuk keperluan bidang epidemiologi. Dalam satu tahun kadang ada 52 atau 53 minggu. Kalender mingguan epidemiologi biasanya memulai perhitungan sebuah minggu dari hari Minggu ke hari Sabtu. Kalender ini digunakan untuk parameter orientasi waktu sebuah kejadian penyakit. Misalnya, tanggal 22 Februari 2021 ini disebut ada pada minggu ke 9 di tahun 2021 ini. Hal ini mempermudah komunikasi antar programer epidemiologi. Kalender mingguan epidemiologi ini dibuat dari Kemenkes untuk digunakan dalam semua program pemantauan penyakit.